KETENTUAN KAFAAH DI TURKI, UU NO.1 TAHUN 1974 DAN PANDANGAN FUQAHA - Mencari Pendidikan

KETENTUAN KAFAAH DI TURKI, UU NO.1 TAHUN 1974 DAN PANDANGAN FUQAHA

KAFAAH

A.Ketentuan kafaah di Turki

KETENTUAN KAFAAH DI TURKI, UU NO.1 TAHUN 1974 DAN PANDANGAN FUQAHA
Kafaah | Gambar hanya ilustrasi
Menggali ketentuan kafaah yang berlaku di negara turki secara spesifik dapat di temukan dalam undang-undang hukum keluarga di turki, yakni ottoman law of family rights. Di bentuk dan disahkan pada tahun 1917 di turki, ketentuan kafaah sebagaimana pengertian dalam pasal 45, secara lengkap dikutip berikut ini.

Pasal 45

Syarat untuk sebuah pernikhana yang mengikat laki-laki harus menjadi ‘sama’ dengan perempuan dalam kekayaan, pekerjaan, dan hal-hal serupa. Kesetaraan dalam kekayaan berarti bahwa suami harus mampu membayar mahar dan memenuhi biaya pemeliharaan istri, dan kesetaraan dalam pekerjaan berarti bahwa jabatan atau pekerjaan suami harus sama dengan wali pihak istri.
Dari pasal 45 tersebut di pahami bahwa kafaah merupakan persyaratan dalam melaksanakan perkawinan, yaitu bahwa laki-laki seharusnya “sama” dengan wanita. atas hal ini, dapat dipahami bahwa kafaah yang berlaku di turki dan beberapa negara islam lainnya. Nilai kafaah tidak berlaku lagi atau hilang. Bahkan, ketiiadaan kafaah tersebut tidak memberikan pengaruh. Hal ini di jelaskan dalam pasa 46 berikut:

Pasal 46

Kesetaraan harus mempertimbangkan pada awal perkawinan dan hal itu hilang setelah menikah. Ketiadaannya tidak akan berpengaruh.
Pada pasal 47 yang membahas sisi yang berlainan dengan pasal 46 di atas. Bahwa kafaah, bisa terjadi setelah perkawinan, ketika diketahui bahwa suami atau laki-laki tersebut “ sekufu dengan perempuan, bila laki-laki tersebut tidak “sekufu” dengan wanita tersebut, pengadilan dapat membatalkan perkawinan tersebut atas usul wali perempuan. Secara lengkap, pasal 47 menyebutkan:

Pasal 47

Apabila gadis dewasa menyangkal bahwa dia memiliki wali dan dia telah menikah dengan seseorang, jika tampak bahwa dia telah menikah sesuai kafaahnya, perkawinan akan mengikat, sekalipun maharnya kurang dari mahar yang layak. Jika telah menikah dengan seseorang yang bukan sekufu, walinya dapat mendekati pengadilan dan perkawinan dapat dibubdarkan. Apabila tidak disyaratkan, perkawinan tersebut tidak dapat dibatalkan. Intisari pemahaman tersebut terdapat dalam pasal 48 berikut:

Pasal 48

Apabila serang wali menikahkan wanita dewasa dengan seizinnya dengan seorang laki-laki dengan tidak memerhatikan maslah kafaah antara keduanya, dan selanjutnya, diketahui bahwa laki-laki tersebut tidak sekufu dengan wanita tersebut, baik wali dan perempuan tersbut tidak ada alasan atau keberatan untuk melaksanakan perkawinan, dan suaminya tahu hal itu, wali dan perempuan tersebut dapat mengajukan ke pengadilan untuk membubarkan perkaawinan tersbut.

Izin dari wali baik dari status wali tersebut berbeda dalam garis keturunan jauh atau dekat adalah syarat mutlak di samping syarat kafaah. Hal itu tertuang pada pasal 49. Terakhir dalam pembahasan kafaah, sebagaimana yang terteara dalam the ottoman law of family right,  dijelelaskan bahwa kafaah adalah syarat utama dalam sebuah perkawinan. Perkawinan dapat di bubarkan apabila landasan perkawinan tersebut adalah kafaah. Perkawinan tidak dapat dibubarkan apabila terjadi kehamilan meskipun wali tidak perempuan tersebut, langsung atau tidak langsung, merasa keberatan. Intisari kafaah ini tertuang pada pasal50 dari the ottoman law of family right.  Secara lengkap, pasal tersebut adalah:

Pasal 50

Pengadilan dapat membubarkan perkawinan atas dasar menginginkan kesetaraan sebelum kehamilan terjadi, tapi tidak setelah itu, dan persetujuan dari wali, tersurat maupun tersirat, tidak membubarkan perkawinan tersebut.

B.Undang-undang perkawinan di indonesia

Tujuan perkawinan adalah membentuk keluarga yang bahagia kekal dan sejahtera maka undang-undang ini menganut prinsip untuk mempersulit terjadinya peceraian. Adanya kafaah dalam UU No. 1 tahun 1974 dimulai dari adanya syarat-syarat perkawinan. Hal ini tertuang dalam BAB II syarat-syarat perkawinan. Beberapa pasal berkenaan dengan hal itu, adalah sebagai berikut:

Pasal 6

  1. Perkawinan harus berdasarkan atas persetujuan kedua calon mempelai.
  2. Untuk melangsungkan perkawinan seorang yang belum mencapai umur 21 tahun harus mendapat izin kedua orang tua.
  3. Salah seorang dari kedua orang tua telah meninggal dunia atau dalam keadaan tidak mampu menyatakan kehendaknya, maka izin di maksud ayat (2) pasal ini cukup diperoleh dari orang tuayang masih hidup atau dari orang tua yang mampu menyatakan kehendaknya.
  4. Kedua orang tua telah meninggal dunia atau dalam keadaan tidak mampu untuk menyatakan kehendaknya maka izin diperoleh dari wali, orang yang memelihara atau keluarga yang mempunyai hubungan darah dalam garis keturunan lurus ke atas selama mereka masih hidup dapat menyakan kehendanya.
  5. Dalam hal ada perbedaan pendapat antara orang-orang yang disebut dalam ayat (2), (3), dan (4) pasal ini, atau salah seorang atau lebih di antara mereka tidak menyatakan pendapatnya, maka pengadilan dalam daerah hukum tempat tinggal orang yang akan memberikan izin setelah lebih dahulu mendengar orang-orang tersebut dalam ayat (2), (3), dan (4) pasal ini.
  6. Ketentuan tersebut ayat (1) sampai dengan ayat (5) pasal  ini berlaku sepanjang hukum masing-masing agamanya dan kepercayaanya itu dari yang bersngkutan tidak menetukan lain.

Perkawinan membutuhkan izin dari kedua orang tua mempelai dalam rangka untuk mengetahuoi sejauh mana kelayakan kedua mempelai tersebut dari segi samanya. Usia perkawinan menujukkan kematangan seseorang, sementara izin dari kedua belah pihak memperkuat bahwa kedua mempelai tersebut layak dan memadai untuk melangsungkan perkawinan. Izin ini termaktub dalam pasal berikut ini:

Pasal 7

  1. Perkawinan hanya diizinkan jika pihak pria sudah mencapai umur 19 tahun dan pihak wanita sudah mencapai umur 16 tahun.
  2. Penyimpangan terhadap ayat (1) pasal ini dapat meminta dispensasi kepada pengadilan atau pejabat lain, yang ditunjukan oleh kedua orang tua pihak pria maupun pihak wanita.
  3. Ketentuan mengenai keadaan salah seorang atau kedua orang tua tersebut dalam pasal 6 ayat (3) dan (4) undang-undang ini, berlaku juga dalam hal permintaan dispensasi tersbut ayat (2) pasal ini dengan tidak mengurangi yang di maksud dalam pasal 6 ayat (6).

Pencegahan perkawinan dapat dilakukan selama calon mempelai tersbut tidak memenuhi unsur atau syarat sebuah perkawinan. Hal itu pertuang dalam BAB III PENCEGAHAN PERKAWINAN. Pasal-pasal yang berkenaan dengan masalah itu adalah:

Pasal 13

perkawinan dapat dicegah, apabila ada pihak yang tidak memenuhi syarat-syarat untuk melangsungkan perkawinan.

Pasal 14

  1. Yang dapat mencegah perkawinan ialah para keluarga dalam garis keturunan lurus ke atas dan kebawah, saudara, wali nikah, wali, pengampu dari salah seorang calon mempelai dan pihak-pihak yang berkepentingan.
  2. Mereka yang tersebut pada ayat (1) pasal ini berhak juga mencegah berlangsungnya perkawinan apabila salah seorang dari calon mempelai berada di bawah pengampuan, sehingga dengan perkawinan tersebut nyata-nyata mengakibatkan kesengsaraan bagi calon mempelai yang lainnya.

Masalah pencegahan perkawinan ini merupakan suatu upaya yang bersifat hati-hati terhadap kedua mempelai. Bahkan, apabila diketahui terdapat unsur atau syarat perkawinan yang tidak memadai, perkawianan bisa dibatalkan.  Masalah ini tertuang dalam BAB IV BATALNYA PERKAWINAN. Pasal itu adalah:

Pasal 22

Perkawinan dapat dibatalkan, apabila para pihak tidak memenuhi syarat-syarat untuk melangsungkan perkawinan.
Pasal 23
Yang dapat mengajukan pembatalan perkawinan yaitu:
  • Para keluarga dalam garis keturunan lurus ke atas dari suami atau istri;
  • Suami atau istri;
  • Pejabat yang berwenang hanya selama perkawinan belum diputuskan;
  • Pejabat yang ditunjuk tersebut ayat (2) pasal 16 undang-undang ini dan setiap orang yang mempunyai kepentingan hukum secara langsung terhadap perkawinan tersebut, tetapi hanya setelah perkawinan itu putus.

Dapat dipahami bahwa konsepsi kafaah dalam UU No.1 tahun 1974, mulai dari batas usia perkawinan. Selanjutnya, nilai kafaah terlihat dari adanya peran serta keluarga dalam memberi izin sebuah perkawinan.

C. Kafaah dalam pandangan fuqaha

Problem matika Terminologis

Menurut bahasa, kafaah atau kufu, artinya “setaraf, simbang atau keserasian/kesesuaian, serupa, sederajat atau sebanding”. Senanada dengan batasan As-Son’ani, bahwa al-Kafaah adalah persamaan dan serupa. Secara istilah, pengertian kafaah, yaitu “keseimbangan dan keserasian antara calon istri dan suami sehingga masing-masing callon tidak merasa berat untuk melangsungkan perkawinan”. Tekanan dalam hal agama, yaitu akhlak dan ibadah. Kalau kafaah diartikan sebagai persamaan dalam hal harta, atau kebangsawanan, ini berarti terbentuknya kasta, sedangkan dalam islam tidak dibenarkan adanya kasta.

Dalam tulisan Abd. Rahman Ghazaly, “kafaah dianjurkan oleh islam dalam memilih calon suami/istri, tetapi tidak menentukan sah atau tidaknya perkawinan. Kafaah adalah hak bagi wanita atau walinya.

Makna dasar kafaah adalah apa yang menjadi faktor setingkat atau kufu dalam perkawinan. Sebagian fuqaha berpandangan bahwa faktor agama adalah faktor esensi kafaah dalam perkawinan.

Sebagian fuqaha memahami bahwa faktor agama saja yang dijadikan pertimbangan. Berdasarkan sabda Nabi SAW., “Maka carilah wanita yang taat beramgama”. Sebagian lain berpendapat bahwa faktor keturunan sama kedudukannya dengan faktor agama.

Secara umum, dapat dipahami bahwa faktor agama adalah sebagai faktor utama kafaah dalam perkawinan. Pendapat ini diperkuat pula oleh As-Son’ani bahwa yang paling kuat adalah mazhab Zaid ibn ‘Ali dan Malik. Hal ini didasarkan kepada Al-Qur’an surat Al-Hujurat ayat 13:


Artinya:
“wahai manusia! Sungguh, kami telah menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan, kemudian kami jadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku agar kamu saling mengenal. Sungguh, yang paling mulia diantara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling bertakwa. Sungguh, Allah Maha Mengatahui, Mahateliti.”
Kafaah dapat disimpulkan adanya korelasi konsepsi kafaah antara ottoman of Family Right UU No.1 tahun1974 dengan pendapat para fuqaha, yaitu bahwa: ottoman of Family Right tidak mendasarkan bahwa faktor agama, sebagai unsur kafaah yang paling utama sebagaimana jumhur fuqaha, sementara UU No. 1 tahun 1974, mendasarkan bahwa faktor agama adalah unsur utama dalam sebuah perkawinan.

Daftar Pustaka:
Supriyadi, Dedi. Fiqih Munakahat Perbandingan (dari Tektualis sampai Legilasi), Bandung, CV PUSTAKA SETIA, 2011

Subscribe to receive free email updates:

0 Response to "KETENTUAN KAFAAH DI TURKI, UU NO.1 TAHUN 1974 DAN PANDANGAN FUQAHA"

Post a Comment