Ketentuan dan mekanisme nafkah dalam perundang-undangan - Mencari Pendidikan

Ketentuan dan mekanisme nafkah dalam perundang-undangan

Ketentuan Nafkah

A.Ketentuan Nafkah di Maroko

Maroko mangadopsi ketentuan hukum keluarga berdasarkan sistem hukum yang berlaku di turki maka ketentuan nafkahnya pun mengambil dari ottoman of Right. Ketentuan nafkah dalam The moroccan code of Personal status 1958 diuraikan panjang lebar yang di awali dari pasal 53 dan 115-129.
Ketentuan dan mekanisme nafkah dalam perundang-undangan
Nafkah | Gambar hanya ilustrasi


Pasal 53

Istri bisa menuntut pembubaran perkawinan kepada qadi apabila suaminya ada, tetapi lalai untuk menafkahi istrinya.

Pemahaman dari pasal tersenut bahwa istri boleh mengunggat perceraian kepada hakim jika suaminya tidak memberikan nafkah. Jika suami memiliki kekayaan, hakim memerintah kepadanya untuk membayar hak nafkah istri dengan kekayaan tersebut.jika tidak mampu memberi nafkah, pembubaran perkawinan lebih bermanfaat. Hakim memberi waktu tidak lebih dari tiga bulan kepada suami dan suami tidak mampu menyediakan hak nafkah istrinya, perceraian akan dilaksanakan.
Ketentuan nafkah dijelaskan pada pasalm115-129 The moroccan code of Personal status 1958 uraian tentang nafkah, sebagai berikut:

Pasal 115

Setia orang mendapat pemeliharaan dari milik pribadi, namun pemeliharaan dari seorang istri adalah tangunggung jawab suaminya.

Pasal 115 adalah siapa aja boleh hidup dengan nafkahnya sendiri selama ia memeliki harta kekayaan tersebut. Perubahan terjadi ketika seseorang menikah. Suami bertanggung jawab  memberi nafkah, baik kepada dirinya sendiri maupun kepada istrinya. Sebaliknya, istri tidak perlu repot-repot mancari nafkah.

Pasal 116

Dasar dari nafkah adalah perkawinan, hubungan, dan kewajiban perjanjian. 
Berdasarkan pasal di atas, dapat di pahami bahwa “landasan pemberian nafkah adalah perkawinan, hubungan dan perjanjian”. Atas hal ini, perkawinan bukan hal satu-satunya dasar pemberian nafkah sebagaimana pada pasal 115. Masih dapat berlangsung kepada anak sebagai buah dari perkawinan. 

Begitu pula, apabila pasangan tersebut tidak mampu memberi nafkah, terutama hubungan saudara sebagai dasar kedua dapat diterapkan. Perjanjian pemberian nafkah ini dapat di lakukan dari sisi hukum karena terjadinya pelimpahan wewenang kepada saudaranya disebabkan ketidak mampuan pemberian nafkah oleh seseorang.
Aspek-aspek yang harus di wujudkan dalam pemberian nafkah, dijelaskan pasal 118 berikut:

Pasal 118

“nafkah isitri meliputi tempat tinggal, makanan, pakaian, alat bantuan medis, dan keperluan hidup sesuai dengan kebiasaan yang berlaku."

Pasal tersebut mengraikan segala sesuatu yang masuk dalam kategori pemberian nafkah. Pasal 118 harus dikompromikan dengan pasal 119 yang menjelaskan prioritas pemberian nafkah kepada istri. Artinya, pemberian nafkah, kewajiban suami, tetapi tidak berarti mengabaikan keluarga. 

Pasal 119

Pasal 119 menyebutkan dalam sekala nafkah, bergantungan pada kondisi keuangan suami, status istri, kebiasaan, keadaan waktu, dan standar biaya hidup pada umumnya.

Dari pasal 119 dapat di pahami bahwa pemberian nafkah harus melihat kondisi finansial suami, status istri, dan biaya hidup secara umum. Makna luas dari pasal ini adalah bahwa pemberian nafkah dapat di topang pula dari sudut status istri bisa jadi lebih dari faktor ekonomi di banding suami.
Keunikan lain dari ketentuan nafkah di maroko adalah bahwa suami tidak di perkenankan menepati rumah yang sama yang di gunakan oleh istri sebelumnya. Kecuali ada izin dari istri yang terdahulu. Hal itu tertuang dalam pasal 119 ayat (2).

Pasal 119
(2) suami tidak dapat menampung istrinya, dirumah yang sama, keluarga istri tanpa persetujuan sebelumnya.
Pelaksanaan pemberian nafkah kepada istri di mulai sejak ditetapkannya sebuah perkawinan. Setelah itu, suami berkewajiban secara penuh kepada istri dalam hal pemberian nafkah kepada istri secara langsung, pemahaman tersebut di uraikan pada pasal 121:

Pasal 121

Nafkah yang harus di bayar oleh suami sejak itu menjadi wajib atasnya hal itu tidak akan hilang dengan berlalunya waktu

Masa pemberian nafkah kepada istri berakhir dengan kematian suaminya sehingga status suaminya bubar atau cerai akibat kematian suami. Proses ini otomatis memberikan status istri menjadi janda dan berada pada posisi masa idah. Uraian ini terdapat dalam pasal 122:

Pasal 122

Nafkah terhadap istri hilang atas kematian suami, ditangung oleh istri sampai masa idah tanpa alasan yang sah dan tanpa izin suami.
Maksudnya, apabila istri melakukan perbuatan ”tidak setia” hakim berperan untuk memberikan peringatan kepada istri tersebut untuk kembali “setia” di rumah, bahwa jika istri tidak mematuhi dan gagal melaksanakan perintah hakim, pemberian nafkah akan dikurangi hal ini tercantum pada 123.

Pasal 123

Pemeliharaan istri yang sedang hamil tidak boleh hilang dengan pertimbangan adanya ketidak patuhan akibat perselisihan. Jika seorang istri menjadi tidak patuh, qadi akan memperingatkan dia untuk kembali kerumah itu, dan jika ia gagal untuk melakukannya, pemberian nafkah tersbut di kurangi. 

Ketentuan lain tentang pemberian nafkah di jelaskan pada pasal 126 tentang peran suami setelah menjadi ayah dari anak-anak mereka, baik perempuan maupun laki-laki. Pasal tersebut:

Pasal 126

  1. Sang ayang terikat untuk mempertahankan anak-anak kecil yang tidak mampu mecari penghasilan.
  2. Hak-hak gadis dalam pemeliharaan tersebut berlangsung sampai mendapatkan suami mereka kelak, dan untuk anak laki-laki sampai mereka menjadi besar dan mampu memperoleh penghasilan
  3. Untuk anak yang rajin, hak pemberian nafkah ini terus berlangsung sampai selesai pendidikan, atau sampai selesainya 21 tahun usia.

Diuraikan bahwa ayah bertanggung jawab terhadap anaknya dalam masalah nafkah. Hak nafkah bagi gadis yang belum dewasa terus berlangsung sampai dia menikah. Sementara pemberian nafkah kepada anak laki-laki sampai dia dewasa dan bisa mencari nafkah sendiri.
Apabila ayah tidak mampu dalam pemberian hak nafkah kepada anak-anak nya, ibunya bertanggung jawab terhadap anak-anak mereka jika ibunya berasal dari keluarga yang ada. Disebutkan pada pasal 120:

Pasal 120

Apabila ayah tidak mampu memberikan nafkah kepada anak-anak, itu akan menjadi tanggung jawab ibu, jika sang ibu dalam keadaan mudah ekonominya .

B.Ketentuan nafkah di irak

Ketentuan nafkah di irak terdapat dalam perundang-udang khususnya The moroccan code of Personal status 1958 atau dikenal dengan istilah bahasa arab Qanun Al-Akhwal Al-Syakhsiyah.
Dalam perundang-undang ini dijelaskan bahwa akibat logis dari sebuah perkawinan, keberadaan nafkah menjadi wajib dan mutlak bagi suami untuk melaksanakannya. Hal itu tercantum pasal 23 angka (1).

Pasal 23
  1. Nafkah istri merupakan kewajiban bagi suami dalam perkawinan yang sah, bahkan jika dia tinggal bersama orang tua nya, kecuali jika suami ingin dia datang ke rumahnya dan dia menolak untuk melakukannya tanpa alasan.
  2. Penolakan istri akan berlaku jika suami telah menarik maharnya atau tidak memberikan nafkah kepada dirinya.

Dapat dimaknai bahwa nafkah adalah kewajiban bagi suami. Bahwa “nafkah terhadap istri adalah wajib terhadap istri dalam sebuah perkawinan yang sah, meskipun istrinya tinggal bersama orang tuanya.
Pasal 23 setelah diamandemen, redaksinya berbeda, meskipun subtansinya sama. Pasal tersebut berisi:

Pasal 23

  1. Para istri berhak untuk mendapat tunjangan dari suami sebagai mana perjanjian, bahwa jika dia tinggal di rumah orang tuanya, kecuali jika suami meminta dia untuk pindah ketempatnya dan dia tidak mau .
  2. Ketidak mauannya dianggap sah jika suami tidak segera membayar maskawin atau selama ia menngeluarkan biaya nafkah.

Pengertian nafkah di maknai dengan istilah mantenance,I setelah di amandemen, diubah menjadi alimony. Pada point 2, secara tegas dijelaskan bahwa penolakan istri dianggap benar jika suami tidak membayar maskawin segera. Piont 2 dalam pasal 23 ini, tidak tegas, yakni bahwa pebuatan “penolakan istri” akan sah jika suami tidak menyediakan nafkah.

Pasal 24

  1. Nafkah istri yang patuh akan dianggap hutang terhadap suami saat suami tidak mampu untuk meyediakannya. 
  2. Nafkah meliputi makanan, pakaian, penginapan dan fasilitasnya, biaya pengobatan yang di akui adat istiadat, dan pelayanan rumah tangga dari jenis yang tersedia bagi perempuan dari status yang setara.

Meskipun demikian, terdapat beberapa kondisi yang membolehkan tidak adanya hak pemberian nafkah terhadap istri, diuraikan dalam pasal 25:
  • Istri meninggalkan rumah suami tanpa seizin suami dan alasan hukum
  • Istri di curigai melakukan pelanggaran;
  • Istri menolak untuk melakukan perjalanan dengan suami tanpa alasan hukum.

Pasal 25

1). Tidak ada nafkah istri dalam keadaan berikut:
  • Dia meninggalkan rumah suaminya tanpa izin berakhir tanpa alasan yang sah;
  • Dia di hukum untuk suatu pelanggaran;
  • Dia menolak untuk melalukan perjalanan bersama suaminya tanpa alasan yang sah.
2). Tidak ada kewajiban bagi istri untuk menanti suaminya, dan dia tidak dianggap sebagai tidak taat, 
Jika suaminya menuntutnya untuk taat terhadap perbuatan buruk dengan maksud untuk membuatnya cidera atau mengganggu dia....”

Selanjutnya dalam pasal 26 setelah diamandemen, secara isi, dipenrinci dan di tambah menjadi 4 point, pasal terebut adalah:

Pasal 26

  1. Seorang suami tidak boleh menempatkan istri-istrinya satu rumah, tanpa persetujuan istri lainnya di kediaman yang sama.
  2. Seorang suami mempunyai hak untuk merumahkan istrinya dikediaman perkawinan putranya dari lain sampai usia pubertas.
  3. Seorang suami mempunyai hak untuk diam di rumah kedua orangtuanya atau salah satu dari mereka dengan istrinya dalam pernikahan tempat tinggal, dan istri tidak punya hak untuk menolak itu.
  4. Seorag suami mempunyai hak untuk rumah dengan istri nya di rumah yang sama siapapun yang secara sah bertanggungjawab atas kemeliharaan mereka, asalkan tidak membahayakan akan menimpa dirinya sebagai konsekuensinya.

Berdasarkan point-point tesebut, dapat dipahami bahwa seorang suami harus mandiri dan matang dalam mempersiapkan rumah tangga. Hal itu terbukti bahwa dalam pasal ini dijelaskan bahwa suami tidak boleh mendiami rumah istri tanpa ada izin, baik dari pihak istri maupun kerabatnya. Tidak berarti bahwa setiap suami harus dan wajib menyediakan nafkah kepada istrinya. Pemberian nafkah ini tidak dipaksakan. Pasal 27 yang sudah diamandemen, memberikan sinyal bahwa pemberian nafkah bergantung pada kondisi keuangan keluarga.

Pasal 27

Tujuan istri akan diperkirakan sesuai dengan keadaan keuangan pasangan, apakah mereka hidup dalam kelimpahan atau dalam keadaan sederhana.

Pasal 28

  1. Jumlah tujuan mungkin akan meningkat atau menurun sesuai perubahan situasi keuangan dan taraf hidup di negara ini.
  2. Gugatan terkait kenakan atau penurunan tunjangan tetap harus diterima dalam keadaan darurat yang dianggap perlu.

Pada sisi lain, apabila terjadi masalah dalam rumah tangga, misalnya tidak memberikan nafkah selama beberapa waktu, istri diperbolehkan meminjam kepada orang lain atas nama suami. Dapat dilihat pasal 30 yang sudah diamandemen, yaitu sebagai berikut:

Pasal 30

Jika istri sedang menghadapi kesulitan keuangan dan dia memiliki izin untuk meminjam uangh sesuai ketentuan pasal sebelumnya, jika ada orang yang dapat dimintai tunjangan, ia akan meminjamkan uang atas permintaan dan sesuai dengan kapasitas dan ia akan menuntut pengembalian uang tersebut dari suami saja. 

Akan tetapi, jika istrinya meminjam uang dari orang asing, dan orang asing ini memiliki pilihan untuk menuntut pengembalian uangnya, baik dari istri atau suami. Dalam kasus tidak ada orang yang ditemukan untuk meminjamkan uang dan dia tidak mampu bekerja, negara akan menyediakan bantuan finansial.
Peran negara dalam hal ini diawali oleh hakim pengadilan, tercantum pada pasal 31 dan 33 setelah diamandemen, sebagai berikut:

Pasal 31

  1. Selama proses dari tunjangan gugatan, hakim memiliki hak untuk memutuskan sementara tunjangan bagi istri yang harus dibayar oleh suami, dan putusan tersebut harus dilaksanakan segera.
  2. Keputusan akan disimpan atau diubah, seperti untuk perhitungannya atau penolakannya, dalam putusan akhir.

Pasal 33

istri tidak akan mematuhi suaminya dalam segala hal yang bertentangan dengan hukum syariat dan hakim memiliki hak untuk memutuskan tunjangan untuknya.
Pemberian nafkahn akan berakhir ketika terjadi perceraian atau salah satu dari pasangan suami istri meninggal dunia.

Pasal 32

Jumlah akumulasi tunjangan tidak akan berhenti menjadi efektif pada perceraian atau stelah kematian salah satu dari dua pasangan.

C. Ketentuan Nafkah dalam Komilasi Hukum Islam

Secara mendasar, ketentuan pada kompilasi hukum islam adalah nafkah terjadi ketika akad nikah selesai secara sah. Akad nikah secara sah menyebabkan timbulnya hak dan kewajiban. Kelalaian di satu pihak dalam menunaikan kewajibannya, berarti menelantarkan hak dan pihak yang lain.
Konsepsi tentang nafkah dalam kompilasi hukum islam dapat dilihat dari Bab XII hak dan kewajiban suami-istri. Secara terperinci, tentang nafkah ini dapat dalam pasal sebagai berikut.

Pasal 77

  1. Suami-istri memikul kewajiban yang luhur untuk menegakan rumah tangga yang sakinah, mawadah, dan rahamah yang menjadi sendi dasar dari susunan masyarakat.
  2. Suami-istri wajib saling mencintai, saling menghormati, seria dan memberi bantuan lahir batin yang satu kepada yang lain.
  3. Suami-istri memikul kewajiban untuk mengasuh dan memelihara anak-anak mereka, baik mengenai pertumbuhan jasmani, rohani maupun kecerdasar dan pendidikan agamanya.
  4. Suami istri wajib memelihara kehormatannya.
  5. Jika suami atau istri melalaikan kewajibannya, masing-masing dapat mengajukan gugat kepada pengadilan.

Pasal 78

  1. Suami-istri harus mempunyai tempat kediaman yang tetap.
  2. Rumah keidaman yang dimaksud dalam ayat (1), ditentukan oleh suami-istri bersama.

Pasal-pasal di atas menguraikan bahwa suami sebagai kepala rumah tangga adalah nahkoda dalam menjalankan rumah tangga. Hak nafkah adalah hak mutlak suami yang harus diberikan kepada istri, baik sandang, pangan maupun papan. Konsep kafaah lain dapat dilihat dari status suami sebagai kepala rumah tangga yang memiliki ha dan kewajiban terhadap istri. Hal itu tertuang dalam pasal 79 sabgai berikut.

Kedudukan suami istri

Pasal 79

  1. Suami adalah kepala keluarga dan istri ibu rumah tangga.
  2. Hak dan kedudukan istri adalah seimbang dengan hak dan kedudukan suami dalam kehidupan rumah tangga dan pergaulan hidup yang bersama dalam masyrakat.
  3. Masing-masing pihak berhak untuk melakukan perbuatan hukum.

Bagian ketiga kewajiban suami

Pasal 80

1. Suami adalah pembimbing terhadap istri dan rumah tangga nya, akan tetapi mengenai hal-hal urusan rumah tangga yang penting-penting di putuskan oleh suami istri secara bersama. 
2. Suami wajib melindungi istrinya dan memberikan segala seasuatu keperluan hidup rumah tangga sesuai dengan kemampuannya.
3. Suami wajib memberi pendidikan agama kepada istrinya dan memberi kesempatan belajar pengetahuan yang berguna dan bermanfaaat bagi agama, nusa, dan bangsa.
4. Sesuai dengan penghasilannya suami menanggung:
a. Nafkah, kiswah, dan tempat kediaman bagi istri.
b. Biaya rumah tangga, biaya perawatan, dan biaya pengobatan bagi istri dan anak.
c. Biaya pendidikan bagi anak.
5. Kewajiban suami terhadap istrinya seperti tersebut pada ayat (4) huruf a,dan b diatas mulai berlaku sesudah ada tamkin sempurna dari istrinya.
6. Istri dapat membebaskan suaminya dari kewajiban terhadap dirinya sebagai mana tersebut pada ayat (4) huruf a, dan b.
7. Kewajiban suami sebagai mana di maksud ayat (5) gugur apabila istri nusyud.

Bagian keempat tempat kediaman

Pasal 81

  1. Suami wajib menyediakan tempat kediaman bagi istri dan anak-anaknya, atau tempat bekas istri yang masih dalam masa iddah.
  2. Tempat kediaman adalah tempat tinggal yang layak untuk istri selama dalam ikatan perkawinan, atau dalam iddah talak atau idah wafat.
  3. Tempat kediaman di sediakan untuk melindungi istri dan anak-anaknya dari gangguan pihak lain, sehingga mereka merasa aman dan tentram. Tepat kediaman juga berfungsi sebagai temapat menyimpan harta kekayaan, sebagai tempat menata dan mangatur alat-alat rumah tangga.
  4. Suami wajib melengkap temapat kediaman sesuai dengan kemampuannya serta disesuaikan dengan keadaan lingkungan tempat tinggalnya, baik berupa alat pelengkapan rumah tangga, maupun sarana penunjang lainnya.

Dengan demikian, dapat ditarik intisari dari pasal-pasal tersebut bahwa dalam pemberian nafkha, suami bertanggung jawab penuh selama istri setia atau tidak melakukan hal-hal yang melanggar agama dan tanpa izin suami. Apabila hal itu terjadi, nafkah bisa dikurangi atau dihapuskan.

Daftar Pustaka:
Supriyadi, Dedi. Fiqih Munakahat Perbandingan (dari Tektualis sampai Legilasi), Bandung, CV PUSTAKA SETIA, 2011

Subscribe to receive free email updates:

0 Response to "Ketentuan dan mekanisme nafkah dalam perundang-undangan"

Post a Comment