Makalah ilmu tafsir: Pengertian, sejarah, periodesasi, perbedaan tafsir beserta hikmahnya. - Mencari Pendidikan

Makalah ilmu tafsir: Pengertian, sejarah, periodesasi, perbedaan tafsir beserta hikmahnya.

Assalamu'alaikum, makalah didalam artikel ini yang akan dijelaskan adalah makalah mengenai mata kuliah ilmu tafsir, dimana tugas ini disusun oleh Sofyan Suherman. Makalah yang akan dijelaskan adalah makalah ilmu tafsir yang mencakup tentang Pengertian dan sejarah tafsir al-Qur’an, periodesasi tafsir, perbedaan tafsir yang qadim dan yang hadits, serta hikmah yang terkandung di dalamnya. Jika ingin meng-copy makalah ini, hargai lah yang menyusunnya dengan cara memberi sumber dari mana makalah ini berasal.

Dan juga, jika kalian memang mahasiswa yang sesungguhnya, diharapkan tidak meng-copy makalah ini 100%. Makalah ini hanya menjadi referensi kalian ketika ingin menyusun makalah.

KATA PENGANTAR

Alhamdulillah berkat rahmat Allah swt dan pertolongan-Nya, kami dapat menyelesaikan makalah ini dengan baik dan tepat waktu.

Dibuatnya makalah ini adalah dengan tujuan untuk mengungkapkan sekelumit tentang ilmu tafsir dari perspektif sejarah dan perkembangannya dari masa ke masa. Kemudian hikmah apa yang terkadung dan dapat dipetik dari sejarah tafsir tersebut.

Di dalam makalah ini dibahas bagaimana dinamika perkembangan ilmu tafsir sejak awal adanya tafsir, yakni pada masa Nabi Muhamad saw. Lalu bagaimana Nabi saw dan sahabat menafsirkan ayat-ayat al-Qur’an. Sehingga terjadilah periodesasi tafsir dari masa Nabi saw hingga masa kini. 
Akhirnya kami bermohon kepada Allah swt, semoga usaha kami ini mendapat ridha Allah serta mendapat respon positif dari para pembaca sekalian. Dan apabila terdapat kekeliruan di dalamnya, kami mohon maaf yang sebesar-besarnya.
Pengertian dan sejarah tafsir al-Qur’an, periodesasi tafsir, perbedaan tafsir yang qadim dan yang hadits, serta hikmah yang terkandung di dalamnya.
Pengertian dan sejarah tafsir al-Qur’an, periodesasi tafsir,
perbedaan tafsir yang qadim dan yang hadits,
serta hikmah yang terkandung di dalamnya.

BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Al-Qur’an merupakan salah satu kitab suci yang telah memberikan pengaruh yang luas dalam jiwa dan tindakan manusia. Bagi kaum muslimin, al-Qur’an bukan saja sebagai kitab suci (scripture) melainkan juga petunjuk (huda) yang menjadi pedoman sikap dan tindakan mereka dalam memainkan peran sebagai Khalifat  Allah di mukabumi. 

Ibarat katalog sebuah produk barang, al-Qur’an adalah guide bagi pengelola alam ini sehingga dapat berfungsi dengan baik. Maka baik buruknnya pengelolaan dan pendayagunaan alam sangat tergantung kepada tinggi rendahnya intensitas komitmen manusia terhadap petunjuk al-Qur’an. Karena itu, tafsir al-Qur’an dan hal-hal yang berkaitan dengannya mendapat perhatian besar sejak masa awal perkembangan Islam sampai masa kini, bahkan hingga masa mendatang, mengingat posisi sentral yang dimilikinya sebagai huda.  

Tak dapat dipungkiri bahwa studi al-Qur’an selalu berkembang sejak al-Qur’an diturunkan hingga sekarang ini. Munculnya berbagai kitab tafsir yang syarat dengan berbagai ragam metode maupun pendekatan merupakan bukti nyata bahwa upaya untuk menafsirkan al-Qur’an memang tidak pernah berhenti. Hal ini merupakan keniscayaan sejarah, karena umat Islam pada umumnya ingin selalu menjadikan al-Qur’an sebagai mitra dialog dalam menjalani kehidupan dan mengembangkan peradaban. Proses dialektika antara teks yang terbatas dan konteks yang tak terbatas itulah sebenarnya yang menjadi pemicu dan pemacu bagi perkembangan tafsir. 

Pada masa awal kemunculan tafsir al-Qur’an ini diyakini sudah ada sejak masa Rasulullah saw, kemudian dilanjutkan oleh para sahabat. Setelah itu kemudian masa perkembangan ilmu tafsir pada masa tabi’in dan dilanjutkan oleh ulama mutaqaddimin serta mutaakhirin hingga kemudian lebih dikembangkan lagi dengan metode yang baru oleh para mufassirin kontemporer. Sehingga, lahirlah corak yang beragam yang belum ada pada masa tafsir  qadim (klasik) dan ada pada masa tafsir hadits (kontemporer).

Dalam makalah ini dibahas bagaimana pengertian dan sejarah tafsir al-Qur’an, periodesasi tafsir, perbedaan tafsir yang qadim dan yang hadits, serta hikmah yang terkandung di dalamnya. 

1.2 Rumusan Masalah

Dari latar belakang di atas, maka masalah yang akan dibahas dibahas dalam makalah ini adalah sebagai berikut: 

  1. Bagaimana pengertian tafsir?
  2. Bagaimana sejarah tafsir?
  3. Bagaimana periodesasi tafsir?
  4. Bagaimana perbedaan tafsir qadim dan hadits?
  5. Hikmah apa yang dapat dipetik dari sejarah tafsir itu?


1.3 Tujuan

Tujuan dari pembuatan makalah ini adalah untuk mengungkapkan sekelumit tentang ilmu tafsir dengan pokok masalah sebagai berikut:

  1. Bagaimana pengertian tafsir?
  2. Bagaimana sejarah tafsir?
  3. Bagaimana periodesasi tafsir?
  4. Bagaimana perbedaan tafsir qadim dan hadits?
  5. Hikmah apa yang dapat dipetik dari sejarah tafsir itu?

BAB II
PEMBAHASAN

2.1  Pengertian Tafsir

Tafsir menurut bahasa (lughah) berasal dari kata فسر- يفسر- تفسيرا dari wazan فعل- يفعل- تفعيلا yang berarti menjelaskan atau menerangkan.  Umpamanya seperti فسرالكتاب yang berarti menerangkan kitab.  Pengertian tafsir dapat ditelusuri dalam pemakaian kata tafsir dalam al-Qur’an “Dan mereka tidak membawa kepadamu dengan perumpamaan selain kami membawakanmu kebenaran dan penjelasan yang terbaik” (QS. al-Furqan 25 : 33). 

Sedangkan menurut istilah adalah sebagai berikut:
Menurut Al-Zarkasyi dalam Al-Itqan: “Tafsir adalah ilmu untuk memahami Kitabullah yang diturunkan kepada Muhamad, menjelaskan makna-maknanya serta mengeluarkan hukum dan hikmahnya”. 

Sedangkan itu, pada  redaksi lain dalam kitab Al-Burhan, Al-Zarkasyi seperti yang dikutip oleh Prof. Hasbi Ash-Shiddieqy mengatakan bahwa: “Tafsir itu, ialah: menerangkan makna-makna Al-Qur’an dan mengeluarkan hukum-hukumnya dan hikmah-hikmahnya.” 

Al-Kilby berkata dalam At-Tashil: “Tafsir itu, ialah: mensyarahkan Al-Qur’an, menerangkan maknanya dan menjelaskan apa yang dikehendakinya dengan nashnya atau dengan isyaratnya, ataupun dengan najuahnya.” 

Dari beberapa pengertian di atas, kiranya dapatlah ditarik kesimpulan bahwa tafsir itu terbagi menjadi dua konteks: yaitu konteks sebagai suatu cabang ilmu dan sebagai makna dari tafsir itu sendiri.
Jika dikatakan sebagai suatu cabang ilmu, maka ilmu tafsir adalah ilmu untuk memahami Kitabullah guna menjelaskan makna-maknanya serta menjelaskan hukum-hukumnya dan hikmah-hikmahnya.
Adapun konteks tafsir yang kedua, yakni sebagai maknanya ialah menerangkan dan  menjelaskan makna al-Qur’an dengan nashnya, atau dengan isyarahnya, atau dengan najuahnya (rahasianya).
  

2.2  Sejarah Pertumbuhan dan Perkembangan Tafsir

Telah menjadi sunnatullah bahwa Ia mengutus setiap rasul dengan menggunakan bahasa kaumnya. Hal ini agar komunikasi antara mereka berjalan dengan sempurna. Allah berfirman:
“Dan Kami tidak mengutus seorang rasul pun melainkan dengan bahasa kaumnya, supaya ia dapat memberi penjelasan dengan terang kepada mereka.” (Ibrahim [14] : 4). 

Kitab yang diturunkan kepadanya juga dengan bahasanya dan bahasa kaumnya. Apabila bahasa Muhamad adalah bahasa Arab, maka kitab yang diturunkan kepadanya juga dalam bahasa Arab. Demikianlah penjelasan ayat muhkam berikut:

“Sesungguhnya Kami menurunkannya berupa Qur’an dengan berbahasa Arab agar kamu memahaminya.” (Yusuf [12] : 2). 

Al-Qur’an diturunkan dalam bahasa Arab, menurut uslub-uslubnya. Seluruh lafad Al-Qur’an adalah bahasa Arab asli, terkecuali beberapa kata yang berasal dari bahasa lain yang telah menjadi bahasa Arab, serta dipakai pun menurut bahasa Arab sendiri. 

Keterangan di atas sejalan dengan apa yang dikemukakan oleh Mashuri Sirojuddin Iqbal dalam Pengantar Ilmu Tafsir, ia mengatakan bahwa seluruh lafazh al-Qur’an adalah berbahasa Arab terkecuali beberapa kalimat yang berasal dari bahasa lain yang telah menjadi bahasa Arab, seperti lafazh كفلين dalam surat al-Hadid ayat 28. Lafazh itu berasal dari bahasa Habsyi maknanya sama dengan ضعفين yang berarti dua kali lipat ganjaran. 

Tetapi meskipun demikian Al-Qur’an itu tetap berbahasa Arab.Lafazh-lafazh Al-Qur’an itu ada yang bersifat hakikat, ada yang bersifat majaz, dan ada yang bersifat kinayah. 

Setiap kali Nabi saw menerima wahyu dari Allah swt, Nabi pun segera menyampaikannya kepada para sahabat serta menafsirkannya sesuai dengan dengan petunjuk yang diberikan Jibril kepada beliau. Jika tidak ada petunjuk dari Jibril, maka Nabi pun tidak menafsirkannya. Oleh karena itu, menurut Aisyah r.a yang dikutip oleh Hasbi Ash-Shiddieqy, mengatakan bahwa: “Nabi menafsikan hanya beberapa ayat saja menurut petunjuk Jibril.”

Inilah yang menyebabkan timbulnya keinginan dan tekad yang kuat di kalangan para sahabat untuk lebih bersungguh-sungguh dalam mencari dan memahami tafsir al-Qur’an guna mengetahui makna dari ayat-ayat al-Qur’an.

2.3  Periodesasi Tafsir dari Masa ke Masa

Di atas telah sedikit disinggung bahwa yang pertama kali yang menafsirkan al-Qur’an adalah shahib al-qur’an, yakni Nabi melalui petunjuk-petunjuk yang Allah berikan  lewat Jibril. Kemudian penjelasan-penjelasan (tafsir) dijadikan pokok-pokok pertama dalam menfsirkan al-Qur’an. Tegasnya, para sahabat sepakat untuk menetapkan nukilan-nukilan dari Nabi saw sebagai dasar pertama dalam menafsirkan ayat-ayat al-Qur’an.

Adapun contoh penafsiran di masa Nabi adalah ketika para sahabat bertanya tentang tafsir ظلم dalam 
surat Al-An’am ayat 82, maka Nabi pun menjawab bahwa yang dimaksud ظلم pada ayat tersebut adalah syirik. Kemudian Nabi pun menguatkan penafsirannya itu dengan firman Allah dalam surat Luqman ayat 13 yang artinya: “Sesungguhnya syirik itu adalah benar-benar kezaliman yang besar.”

Mengenai penafsiran dengan kemampuan ijtihad, para sahabat berselisih. Sebagian sahabat dalam menafsirkan Al-Qur’an hanya berpedoman kepada riwayat semata, tidak mau mempergunakan ijtihad. Sebagian yang lain, disamping menafsirkan ayat dengan hadits-hadits yang diterimanya dari Nabi atau sesamanya, mereka menafsirkan juga dengan ijtihad. Tegasnya, disamping mereka menafsirkan dengan atsar, mereka juga menafsirkan Al-Qur’an dengan berpegang kepada kekuatan bahasa Arab dan asbabun nuzul. Karena itu, menjadilah ijtihad dasar tafsir yang kedua. 

Di antara sahabat yang menafsirkan al-Qur’an dengan menggunakan ijtihad selain menggunakan riwayat dari Nabi saw adalah Ibnu Mas’ud dan Ibnu Abbas. Keduanya merupakan sahabat yang terkenal dengan kemahirannya dalam bidang ta’wil dan istinbath. Meskipun demikian, sebagian sahabat serta banyak dari tabi’in yang menetapkan Ibnu Abbas sebagai Turjuman al-Qur’an (penafsir al-Qur’an) dibandingkan dengan Ibnu Mas’ud.

Sebagai contoh bagaimana Ibnu Abbas berusaha menafsirkan ayat al-Qur’an dari segi lafazhnya dengan menggunakan ijtihadnya adalah sebagai berikut:  

“Abu Ubaid meriwayatkan dari sanad Mujahid, dari Ibnu Abbas, ia (Ibnu Abbas) berkata ; “Aku tidak mengetahui apa yang dimaksud dengan lafazh فاطر السموات sampai datang kepadaku dua orang Arab gunung yang bersengketa mengenai sebuah sumur. Salah satu dari keduanya mengatakan : انا فطرتها , maksudnya ialah انا ابتدء تها (aku yang memulai membuatnya)”. 

Sebagaimana tokoh-tokoh sahabat banyak yang dikenal dengan dalam lapangan tafsir, maka sebagian tokoh tabi’in yang menjadi dan belajar kepada mereka pun terkenal di bidang tafsir. Dalam hal sumber tafsir, para tabi’in berpegang pada sumber-sumber yang ada pada masa para pendahulunya di samping ijtihad dan pertimbangan nalar mereka sendiri. 

Berkata Ustaz Muhamad Husain az-Zahabi:
Dalam memahami Kitabullah, para mufasir dari kalangan tabi’in berpegang pada apa yang ada dalam Qur’an itu sendiri, keterangan yang mereka riwayatkan dari para sahabat yang berasal dari Rasulullah, penafsiran yang mereka terima dari para sahabat berupa penafsiran merka sendiri, keterangan yang diterima tabi’in dari Ahli Kitab yang bersumber dari isi kitab mereka, dan ijtihad serta pertimbangan nalar mereka terhadap Kitabullah sebagaimana yang dianugerahkan Allah kepada mereka. 

Tatkala daerah Islam telah berkembang luas, maka ulama-ulama tafsir banyak yang pindah ke daerah-daerah baru. Bersamaan dengan itu tersebar pula madrasah-madarasah di beberapa kota, antara lain di Makkah : Timbul Madarasah Ibnu Abbas. Murid-murid Ibnu Abbas yang meriwayatkan tafsir daripadanya ialah : Said bin Jubair, Mujahid, Ikrimah (maula Ibnu Abbas), Thawus bin Kaisan Al-Yamani, dan Atha bin Abi Rabah. 

Selain di Makkah, di Madinah pun muncul Madrasah Tafsir Ubay bin Ka’ab yang memiliki murid yang tidak sedikit. Di antara murid-muridnya -dari kalangan tabi’in adalah Zaid bin Aslam, Abu Al-‘Aliyah, dan Muhamad bin Ka’ab Al-Qurdhi.

Sama halnya dengan yang terjadi di Makkah dan Madinah, di Iraq pun muncul Madrasah Tafsir Ibnu Mas’ud. Di antara murid-muridnya adalah : Al-Qamah bin Qais, Amir Asy-Sya’bi, Hasan Al-Bashri, dan Qatadah bin Di’amah As-Sadusi.

Merekalah mufasir-mufasir terkenal dari kalangan tabi’in di berbagai wilayah Islam, dan dari mereka pulalah tabi’it tabi’in (generasi setelah tabi’in) belajar. 

Memasuki masa pembukuan (tadwin), yakni pada masa akhir dinasti Umayyah dan awal dinasti Abbasiyyah, hadis mendapatkan prioritas utama yang meliputi berbagai bab, sedangkan tafsir hanya mendapat prioritas setelahnya. Hal itu terjadi mengingat tafsir hanya merupakan salah satu bab dari sekian banyak bab yang tercakup di dalamnya.

Pada awal dinasti Abbasiyah terjadi usaha-usaha untuk mengumpulkan mengumpulkan hadits-hadits tafsir yang dinisbatkan kepada Nabi, sahabat, atau tabi’in guna. Hal itu dilakukan guna memisahkan antara riwayat-riwayat dari Nabi saw dengan riwayat lainnya.

Berikut adalah tokoh-tokoh yang terkenal dalam bidang ini: 

  • Yazid bin Harun As-Sulami (w. 117 H)
  • Syu’bah bin Al-Hajjaj (w. 160 H)
  • Waki’ bin Jarrah (w. 197 H)
  • Sufyan bin ‘Uyainah (w. 198 H)
  • Rauh bin ‘Ubadah Al-Bashri (w. 205 H)
  • Abdurrazzaq bin Hammam (w. 211 H)
  • Adam bin Iyas (w. 220 H)
  • Abdun bin Humaid (w. 249 H)
Meskipun pada masa ini sudah banyak muncul tafsir-tafsir al-Qur’an, seperti Tafsir Ibnu Uyainah dan Tafsir Waki’ bin Jarrah, namun sangat disayangkan bahwa tafsir-tafsir itu tidaklah sampai kepada kita, hanya nukilan-nukilan yang dinisbatkan kepada mereka yang sampai kepada kita sebagaimana yang terdapat dalam kitab-kitab Tafsir bil-ma’tsur.

Sesudah golongan ini datanglah generasi berikutnya yang menulis secara khusus dan independen serta menjadikannya sebagai ilmu yang berdiri sendiri dan terpisah dari hadis. Qur’an mereka tafsirkan secara sistematis sesuai dengan tertib Mushaf. Di antara mereka adalah Ibn Majah (w. 273 H.), Ibn Jarir at-Tabari (w. 310 H.), Abu Bakar bin al-Munzir an-Naisaburi (w. 318 H.), al- Hakim (w. 405 H.) dan Abu Bakar bin Mardawaih (w. 410 H.). 

Tafsir generasi ini membuat riwayat-riwayat yang disandarkan kepada Rasulullah, sahabat, tabi’in, tabi’it tabi’in, dan terkadang disertai dengan pen-tarjih-an terhadap pendapat-pendapat yang diriwayatkan dan penyimpulan (istinbath) sejumlah hukum serta penjelasan kedudukan kata (i’rab) jika dperlukan, sebagaimana dilakukan Ibnu Jarir at-Tabari. 

Semakin berkembangnya zaman, semakin berkembang pula tafsir serta pembukuannya.  Namun, itu semua ada dampak positif dan negatifnya. Dampak positifnya adalah pembukuan tafsir yang mencapai kesempurnaan. Sedangkan dampak negatifnya adalah munculnya berbagai macam cabang tafsir yang dipengaruhi oleh masalah-masalah “Kalam”dan ilmu-ilmu yang bercorak rasional seperti filsafat yang bercampur dengan ilmu-ilmu yang bersifat naqli seperti al-Qur’an, Hadits, dan Atsar sahabat.

Selain daripada itu, fanatisme mazhab juga turut andil dalam masalah ini. Setiap golongan berusaha mendukung mazhabnya masing-masing. Hal inilah yang membuat tafsir ternoda oleh keegoisan para pendukung mazhab.

Di antara mereka tidak sedikit yang menafsirkan al-Qur’an dengan berpegang pada pemahaman sendiri ke berbagai kecenderungan sesuai dengan ilmu yang paling dikuasainya.
Ahli ilmu rasional hanya memperhatikan dalam tafsirnya kata-kata pujangga dan filosof, seperti Fakhruddin ar-Razi. Ahli fikih hanya membahas soal-soal fikih, seperti al-Jassas dan al-Qurtubi. Sejarawan hanya mementingkan kisah dan berita-berita, seperti as-Sa’alabi dan al-Khazin. 

Ada pula yang kecenderungan tafsirnya kepada kaidah-kaidah nahwu, cabang-cabangnya, serta masalah-masalah yang berkaitan dengannya, seperti Abu Hayyan Al-Andalusi dalam Al-Bahr Al-Muhith dan Al-Nahr.

Memasuki masa moderen dengan berbagai problematikanya, sejumlah tokoh pun meresponnya dengan mengembangkan pemikirannya pada aspek perkembangan zaman. Mulai dari ekonomi, sosial dan budaya. Hal inilah yang kemudian mendorong sejumlah tokoh untuk melakukan kajian tafsirnya bukan lagi dari segi tekstual ayat, melainkan kontekstualnya, seperti yang dilakukan oleh Muhamad Abduh dan salah seorang muridnya Rasyid Ridho.

Dalam tafsirnya, mereka lebih mengetengahkan kontekstual ayat dibandingkan tektstual ayat. Hal ini dilakukan mengingat tektual ayat yang terbatas, sedangkan persoalan-persoalan di masayarakat yang semakin hari semakin berkembang dan beraneka macam jenisnya. Oleh karenanya, diperlukan panduan atau petunjuk untuk menjawab persoalan-persoalan tersebut.

Al-Qur’an merupakan pedoman yang menjadi petunjuk bagi umat Islam menjadi kebutuhan pokok yang harus ada untuk menjawab persoalan-persoalan yang berkembang di masyarakat. Namun pada kenyataannya, persoalan-persoalan yang muncul di masyarakat tidaklah semua dapat terjawab oleh tekstual al-Qur’an. Oleh karenanya, ada mufassir yang terketuk hatinya untuk menafsirkan tekstual al-Qur’an dengan mengetengahkan aspek kontekstual ayat yang muncul dan berkembang di masyarakat.

Salah satu kitab tafsir kontemporer yang lahir dan masih ada hingga kini adalah Tafsir Al-Manar karya Muhamad Abduh.

Tafsir Al-Manar merupakan salah satu kitab tafsir populer di kalangan peminat studi al-Qur’an. Majalah Al-Manar yang memuat tafsir ini secara berkala, pada abad ke-20 tersebar luas ke seluruh penjuru  dunia Islam, dan mempunyai peranan yang tidak kecil dalam pencerahan pemikiran serta penyuluhan agama. Itu semua tidak terlepas dari penngaruh Muhamad Abduh, lebih-lebih sang murid-Sayyid Muhammad Rasyid Ridha, pemimpin dan pemilik majalah tersebut serta penulis Tafsir Al-Manar. 

2.4  Perbedaan Tafsir Qadim (Klasik) dan Hadits (Kontemporer)

Sedikit mengenal tentang tafsir qadim, atau klasik. Adapula yang menyebutnya sebagai tafsir konvensional seperti Abdul Mustaqim dalam Studi Al-Qur’an Kontemporer: Wacana Baru Berbagai Metodologi Tafsir. Bukan tanpa alasan ia menyebutnya dengan tafsir konvensional. Karena menurutnya, tafsir konvensional identik terhadap produk tafsir klasik yang memiliki kecenderungan menafsirkan al-Qur’an secara utuh 30 Juz, melalui perangkat ‘ulum al-Qur’an dan kaidah-kaidah tafsir lainnya yang langsung berkaitan dengan teks (nash). 

Hal ini merupakan seuatu bentuk penafsiran pada umumnya menjadikan teks sebagai objek penafsiran, meskipun kontekstualisasi juga dikaji melalui kaidah-kaidah asbab al-nuzul, akan tetapi kajian tersebut hanya berlaku pada segelintir ayat. Padahal teks terbatas tidak akan mengimbangi konteks (waqai’) yang terus berkembang dinamis.

Tafsir konvensional ini merupakan tafsir yang menempatkan ilmu al-lughah al-arabiyyah (ilmu bahasa Arab) sebagai perangkat utama dalam menafsirkan ayat-ayat al-Qur’an. Oleh karena itu, berbagai kaidah bahasa Arab pun digali dan dikaji dengan menggunakan berbagai aspek, seperti: ilmu lughah, nahwu, sharf, ma’ani, bayan, badi’, serta mengetahui ijmal, tabyin, ‘am, khash, mafhum, mamthuq, muthlaq dan muqayyad. 

Adapun metode yang digunakan pada tafsir ini seperti yang dijelaskan oleh Al-Farmawi dalam Al-Bidayah ada empat metode, yaitu: tahlili, ijmali, muqaran, dan maudhu’i. 
Dari pemaparan singkat di atas, dapatlah disimpulkan bahwa tafsir qadim, klasik ataupun konvensional adalah tafsir yang fokus kajiannya cenderung kepada tekstual ayat dengan menggunakan ilmu bahasa Arab sebagai perangkat utamanya serta menggunakan kaidah-kaidah asbab al-nuzul di beberapa ayat.

Yang kedua adalah tafsir hadits atau kontemporer. Tema kontemporer pada dasarnya berasal dari perkembangan ilmu pengetahuan yang menemukan ranah baru dalam kajian kebahasaan. Secara umum tema kontemporer adalah bias dari modernitas, akan tetapi perbedaan ranah kajian yang berkembang dinamis memunculkan terminologi baru sebagi sebagai semangat keilmuan medern yang memiliki kecenderungan terhadap teks kebahasaan. 

Tafsir kontemporer adalah tafsir yang memiliki kecenderungan terhadap perkembangan zaman dan ilmu pengetahuan. Tafsir ini muncul karena ingin merespon perkembangan zaman dengan segala problematikanya, baik dari segi ekonomi, sosial dan budaya. Hal ini terjadi mengingat teks al-Qur’an yang terbatas. Tanpa mengecilkan teks al-Qur’an, kemudian para mufassir melakukan pendekatan melalui metode kontekstual yang berjalan beriringan dengan tekstual al-Qur’an guna menggali dan mengkaji makna teks al-Qur’an yang lebih luas.

Dari penjelasan singkat di atas, dapatlah ditarik garis lurus bahwa yang dimaksud tafsir hadits (kontemporer) adalah tafsir yang fokus kajiannya cenderung mengarah pada kontekstual ayat serta menjadi respon terhadap perkembangan zaman namun tetap berjalan beriringan dengan tekstual ayat.

2.5  Hikmah Sejarah Tafsir

Hikmah menurut Kamus Besar Bahasa Arab (KBBI) berarti kebijaksanaan dari Tuhan atau dapat juga dikatakan bahwa hikmah itu adalah kebijaksanaan yang dianugerahkan Tuhan kepada manusia. Dengan hikmah itu manusia dapat mengetahui hakikat dari sebuah perkara, baik dan buruknya serta dapat menjawab berbagai permasalahan dengannya.

Hikmah juga dapat diartikan sebagai ilmu pengetahuan dari Tuhan yang dianugerahkan kepada manusia. Ketika manusia dianugerahi hikmah oleh Tuhannya, maka sesungguhnya ia telah diberi nikmat yang banyak oleh Tuhannya. 

Bila kita cermati dari pembahasan di atas, ada beberapa hikmah yang dapat kita petik, yaitu: pertama, dapat menambah wawasan keilmuan yang kaitannya dengan dengan sejarah petumbuhan dan perkembangan tafsir dari masa ke masa. Kedua, perjalan tafsir yang begitu panjang hingga mengalami pasang surut yang menjadikan tafsir berkembang hingga saat ini. Ketiga, perlunya kita selaku generasi masa kini untuk menjaga dan melestarikan tafsir agar dapat sampai dan dimanfaatkan oleh generasi setelah kita.

BAB III
KESIMPULAN


Tafsir dilihat dari segi keilmuan merupakan suatu ilmu untuk memahami Kitabullah guna menjelaskan makna-maknanya serta menjelaskan hukum-hukumnya dan hikmah-hikmahnya. Sedangkan tafsir dalam makna aslinya adalah menerangkan dan  menjelaskan makna al-Qur’an dengan nashnya, atau dengan isyarahnya, atau dengan najuahnya (rahasianya).

Menafsirkan al-Qur’an pada mulanya hanya diperuntukan kepada Nabi saw selaku Shahib al-Qur’an dengan petunjuk-petunjuk Jibril kemudian Nabi menyampaikannya kepada para sahabat.

Sedikitnya nukilan-nukilan dari Nabi saw dalam menafsirkan hadits yang kemudian mendorong para sahabat untuk melakukan ijtihad dalam menafsirkan ayat-ayat al-Qur’an. Di kalangan sahabat, ada yang menggunakan ijtihad dan ada pula yang hanya menggunakan nukilan-nukilan dari Nabi sebagai sumber tafsirnya. Hal ini berlaku juga bagi generasi setelahnya yang menggunakan nukilan-nukilan dari Nabi, sahabat, tabi’in serta ijtihad dalam tafsirnya.

Tafsir qadim adalah tafsir yang fokus kajiannya cenderung mengetengahkan tekstual ayat berdasarkan kaidah-kaidah gramatika bahasa Arab serta berdasarkan apa yang diriwayatkan oleh Nabi saw. Sedangkan tafsir hadits adalah tafsir yang fokus kajiannya cenderung mengetengahkan kontekstual ayat yang baerjalan seiring berkembangnya zaman. Meski demikian, dalam tafsir hadits pun tetap menggunakan tekstual ayat dan nukilan-nukilan dari Nabi dalam menafsirkan al-Qur’an, serta kaidah-kaidah bahasa Arab.

Segala sesuatu pasti ada hikmahnya, terlepas dari sejarah dan dampak positif serta negatifnya. Dari sejarah tafsir dan perjalanannya yang begitu panjang, kiranya ada hikmah yang dapat kita petik, yakni berusaha menjaga dan melestarikan apa yang sudah ada sekarang untuk generasi mendatang.

DAFTAR PUSTAKA


Ash-Shiddieqy, Hasbi, 1997, Sejarah dan Pengantar Ilmu Al-Qur’an dan Tafsir, Semarang: Pustaka Rizki Putra.
Abdullah Al-Danquri, Matn Al-Bina wa Al-Asas, Sukabumi: Toko Anda.
Qattan, al, Manna, 2012, Studi Ilmu-ilmu Qur’an, Bogor: Litera Antarnusa.
Bartens, K, 2009, Sejarah Filsafat Kontemporer Inggris-Jerman, Yoyakarta: Ar-Ruz Media.
Hamid, Shalahuddin, 2002, Study Ulumul Qur’an, Jakarta: Intimedia Ciptanusantara.
Hasanah, Amalia, 2013, Kamus Besar Bahasa Arab, Yogyakarta: Pustaka Widyatama.
Iqbal, Sirojuddin, Mashuri, dkk, 2005, Pengantar Ilmu Tafsir, Bandung: Angkasa.
Mustaqim, Abdul, 2003, Madzahibut Tafsir: Peta Metodologi Penafsiran Al-Qur’an Periode Klasik, Yogyakarta: Nun Pustaka.
Shihab, Quraish, Muhamad, 2006, Rasionalitas Al-Qur’an: Studi Kritis atas Tafsir Al-Manar, ¬Ciputat, Lentera Hati.

Keterangan:

[1]Arifin, Sejarah Tafsir Klasik dan Moderen, STAIN Surakarta, Surakarta, 2008, hlm. 1
[2]Abdul Mustaqim, Madzahibut Tafsir: Peta Metodologi Penafsiran al-Qur’an Periode Klasik   
   hingga Kontemporer, Nun Pustaka, Yogyakarta, 2003, hlm. xv.
[3]Mala Abdullah Al-Danquri, Matn Al-Bina wa Al-Asas, Toko Anda, Sukabumi, hlm. 4.  
[4]Lihat Amalia Hasanah, Kamus Besar Bahasa Arab, Pusrtaka Widyatama, Yoyakarta, 2013, hlm. 
   394.
[5]Shalahuddin Hamid, Study Ulumul Qur’an, Intimedia Ciptanusantara, Jakarta, 2002, hlm. 322.
[6]Mahuri Sirojuddin Iqbal dan A Fadlali (Bandung: Angkasa, 2005) hlm. 87. Lihat juga Manna Khalil 
   Al-Qattan, Studi Ilmu-ilmu Qur’an, Pustaka Litera Antarnusa, Bogor, 2012, hlm. 457.
[7]Ibid, hlm. 87. Lihat juga Hasbi Ash-Shiddieqy, Sejarah dan Pengantar Ilmu Al-Qur’an dan Tafsir, 
   Pustaka Rizki Putra, Semarang, 1997, hlm. 170.
[8]Ibid, hlm. 170.
[9[Lihat Manna Khalil Al-Qattan (Bogor: Pusataka Litera Antarnusa, 2012) hlm. 467.
[10]Ibid, hlm. 467.
[11]Lihat Hasbi Ash-Shiddieqy (Semarang: Pustaka Rizki Putra, 1997) hlm. 194.
[12]Lihat Mashuri Sirojuddin Iqbal Pengantar Ilmu Tafsir (Bandung: Angkasa, 2005) hlm. 103-104.
[13]Ibid, hlm 104. Lihat juga Hasbi Ash-Shiddieqy, Sejarah dan Pengantar Ilmu Al-Qur’an dan Tafsir, 
    hlm. 195.
[14]Hasbi Ash-Shiddieqy, Sejarah dan Pengantar Ilmu Al-Qur’an dan Tafsir (Semarang: Pustaka Rizki 
    Putra, 1997) hlm. 198.
[15]Op. Cit. hlm. 106.
[16]Manna Khalil Al-Qattan, Studi Ilmu-ilmu Al-Qur’an, Litera Antarnusa, Bogor, 2012, hlm. 473.
[17]Ibid, hlm. 474.
[18]Mashuri Sirojuddin Iqbal, Pengantar Ilmu Tafsir, Angkasa, Bandung, 2005, 108.
[19]Op. Cit. hlm. 475.
[20]Lihat Manna Khalil Al-Qattan, hlm. 476 – 477.
[21]Ibid, hlm. 477.
[22]Ibid, hlm. 477-478.
[23]Muhammad Quraish Shihab, Rasionalitas Al-Qur’an: Studi Kritis atas Tafsir Al-Manar, Ciputat, 
     Lentera Hati, cet. 1, 2006, hlm. 11.
[24]Abu Hayy Al-Farmawi, Al-Bidayah fi Al-Tafsir Al-Maudhu’i, Al-Hadarah Al-Arabi, Kairo, 1996, 21.
[25]K. Bartens, Sejarah Filsafat Kontemporer Inggris-Jerman, Ar-Ruz Media, Yogyakarta, 2009, hlm.  
    2.

Subscribe to receive free email updates:

0 Response to "Makalah ilmu tafsir: Pengertian, sejarah, periodesasi, perbedaan tafsir beserta hikmahnya."

Post a Comment