Apa saja larangan bagi wanita haidh dan nifas menurut islam? Berikut ulasannya. - Mencari Pendidikan

Apa saja larangan bagi wanita haidh dan nifas menurut islam? Berikut ulasannya.

Haidh adalah salah satu bukan hal asing yang terdapat dikalangan kaum wanita, karena haidh menjadi salah satu tanda bawah wanita tersebut sudah baligh. Haidh biasanya paling lama terjadi sektiar 7 harian. 

larangan bagi wanita haidh dan nifas
Larangan bagi wanita haidh dan nifas
Sedangkan nifas, adalah darah yang keluar dari rahim setelah ibu melahirkan anaknya, terjadi sekitar 40 harian dan ini juga hal yang wajar. Akan tetapi, perlu diketahu bawah terdapat  larangan bagi wanita haidh dan nifas. Apa saja Larangan-larangannya? Simak ulasannya berikut ini:

6 Larangan Bagi Wanita Haidh dan Nifas


Dalam kitab Kifayatul Akhyar, BAB Bersuci mengenai haidh, nifas, dan Istihadhah.

Syaikh Abu Syujak mengatakan, terdapat beberpa hal yang diharamkan untuk wanita, sebab haidh dan nifas, yaitu:
  1. Sholat,
  2. Puasa,
  3. Membaca Alquran
  4. Menyentuh mushhaf (Alquran) atau membawanya,
  5. Masuk ke dalam masjid,
  6. Tawaf,
  7. Wathi , yakni bersetubuh, dan
  8. Berusaha mendapatkan kenikmatan tubuh antara pusat dan lutut.

8 Larangan diatas, selanjutnya akan dijelaskan dibawah ini.

 

1. Haram melakukan sholat dan haram untuk berpuasa


Didalam kitab Kifayatul Akhyar, bab bersuci perihal nifas, haidh dan istihadhah. Syaikh Abu Syujak mengatakan. Beberapa hal yang diharamkan sebab haidh dan nifas, yaitu sebagai berikut:

Untuk wanita yang haidh, maka diharamkan untuk berpuasa dan juga haram untuk melaksanakan shalat. Seperti apa yang telah Rasulullah sampaikan dalam haditsnya: "Jika datang darah haidh, maka tinggalkanlah shalat." Kemudian terdapat juga ijma' ulama yang menjelaskan bahwa wanita yang haidh tidak wajib untuk mengqodho atau mengganti shalatnya berdasarkan hadits yang telah Rasulullah sampaikan, riwayat dari Aisyah.

Aisyah R.A berkata :"“Dahulu kami mengalami haidh di masa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam maka kami pun diperintahkan untuk mengqadha’ (mengganti) puasa (di hari lain) dan kami tidak diperintahkan mengqadha’ sholat.” (H.R Bukhari)

Dari penjelasan diatas, dapat disimpulkan bahwa wanita yang haidh saat bulan ramadhan, maka haram untuk berpuasa. Dan begitupun jika haidh di bulan lain, maka haram untuk melaksanakan shalat.  Akan tetapi, dia wajib mengganti puasanya sebab haidh tadi di bulan lain selain ramadhan, dan hari-hari lain yang tidak diharamkan untuk berpuasa.

 

2. Wanita haidh haram untuk membaca Quran, dan juga haram untuk menyentuh al-qur'an dan membawanya.


Terdapat dalil yang mengharamkan wanita haidh diharamkan membaca al-qur'an, seperti pada sabda Nabi Muhammad berikut ini

"Orang yang junub dan yang haidh tidak boleh membaca sbagian dari al-qur'an." (H.R Abu Daud dan at-Tirmidzi). Akan tetapi hadits tersebut hadits yang dhaif.

Dan dalil haramya menyentuh Alquran terdapat didalam Al-qur'an firman Allah dalam Surat Al-Waqiah ayat 78-79:

     Pada kitab yang terpelihara (Lauhul Mahfuzh), فِي كِتَابٍ مَكْنُونٍ
     Tidak menyentuhnya kecuali orang-orang yang disucikan. لَا يَمَسُّهُ إِلَّا الْمُطَهَّرُونَ

Jika menyentuh Alquran hukumnya haram, apalagi membawa Alquran. Kecuali jika Alquran itu ada di dalam barang bawaan, yang orangnya tidak sengaja membawa Alquran secara khusus. Tapi kalau yang dimaksudkan membawanya itu Alquran, maka sekalipun membawanya dengan barang-barang lain, hukumnya tetap haram. Demikian yang telah dipastikan oleh Imam Rafii.

Namun, terdapat pula para imam madzhab yang membolehkan wanita haidh menyentuh al-qur'an dan membacanya. Ini dikarenakan, ditakutkan selama haidh tersebut wanita tidak mendapat pahala dari membaca al-quran. Wallahu a'lam.

 

3.Wanita haidh haram jika memasuki masjid


Masuknya perempuan yang sedang haidh ke dalam masjid, jika dia bermaksud duduk di dalamnya, atau berhenti walaupun dengan berdiri atau berjalan kesana kemari, hukumnya haram.

Sebab, orang yang junub saja sudah haram masuk ke dalam masjid, apalagi orang yang haidh. tentu tidak ada keraguan lagi bahwa itu lebih mengkhawatirkan daripada orang junub. Jika wanita haidh itu hanya mau lewat begitu saja, menurut qaul yang shahih boleh sebagaimana juga orang yang junub.

Pokok perbedaannya, bahwa jika wanita yang haidh tidak dikhawatirkan mengotori masjid, sebab dia sudah bercawat dan memakai pembalut farji. Namun, jika dia khawatir mengotori masjid, haram hukumnya masuk ke dalam masjid tanpa khilaf.

Imam Rafii dan lain-lainnya mengatakan :

Hukum seperti ini tidak khusus dalam masalah haidh saja, malahan masalah lain demikian juga, seperti orang yang sebentar-sebentar mau kencing atau mempunyai luka yang darahnya terus merembes keluar yang dikhawatirkan mengotori masjid, maka itu pun haram lewat di dalam masjid.

Andaikata orang hendak masuk ke dalam masjid dengan membawa sandal yang ada najisnya, dan dikahwatiran najisnya menetes di dalam masjid, maka seharusnya sandal itu dikesatkan dahulu baru boleh masuk masjid. Mengesatkan ini hukumnya wajib dan haram ditinggalkan.

Tambahan, dijelaskan di dalam pembahasan tentang keharaman orang yang junub (hadas besar) memasuki masjid, di dasarkan pada hadits Rasulullah

"Aku tidak halalkan masjid itu kepada wanita yang haidh dan oranag yang junub."

[Diriwayatkan oleh Abu Dawud. Dan Berkata Ibnul Qaththan bahwa hadits ini hasan.]

4. Haram thawaf


Artinya, wanita yang haidh atau nifas haram melakukan tawaf karena sabda Nabi Muhammad shollallahu alaihi wa aalihi wa shohbihi wa sallam kepada Aisyah pada waktu Aisyah haidh saat menjalankan ibadah haji:

"Kerjakanlah apa yang seharusnya dikerjakan oleh orang-orang yang haji kecuali tawaf di Baitullah, sampai saatya kamu suci."

[Riwayat Bukhari dan Muslim]

Namun, lafadz hadits ini menggunakan lafadz imam Bukhari.

Berdasarkan hadits ini, semua imam yang empat (Syafii, Maliki, Hanbali, Hanafi) sepakat bahwa wanita yang haidh atau nifas haram melakukan tawaf. Dan disini saya (pengarang kitab) menambahkan pula di dalam bab haji, bahwa andaikata wanita yang haidh itu melanggar dan memaksa melakukan tawaf rukun, maka tidak sah tawafnya dan pelanggaran ini harus ditebus dengan membayar dam menurut selain Imam Hanafi , dan dia harus tetap dalam pakaian ihramnya.

Menurut Imam Hanafi, sah tawafnya, dan dia wajib menyembelih unta satu ekor. Namun, sainya yang dilakukan setelah tawaf tidak sah dan boleh ditebus dengan seekor kambing.

Al Mughirah (pengikut madzhab Maliki) berkata: tawaf itu tidak disyaratkan harus suci karena suci itu hanyalah perkara sunnah. Kalau orang itu melakukan awaf dengan menanggung hadast kecil, dia wajib membayar dam dengan seekor kambing. Dan apabila dia melakukan tawaf dengan menanggung hadas besar yakni junub, dia wajib membayar seekor unta.

 

5.Haram bersetubuh dan 

 

6. Berusaha mendapatkan kenikmatan tubuh antara pusat dan lutut

Keharaman ini didasarkan pada firman Allah dalam surah Al baqarah ayat 222 :


وَيَسْأَلُونَكَ عَنِ الْمَحِيضِ ۖ قُلْ هُوَ أَذًى فَاعْتَزِلُوا النِّسَاءَ فِي الْمَحِيضِ ۖ وَلَا تَقْرَبُوهُنَّ حَتَّىٰ يَطْهُرْنَ ۖ فَإِذَا تَطَهَّرْنَ فَأْتُوهُنَّ مِنْ حَيْثُ أَمَرَكُمُ اللَّهُ ۚ إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ التَّوَّابِينَ وَيُحِبُّ الْمُتَطَهِّرِينَ


Mereka bertanya kepadamu tentang haidh. Katakanlah: "Haidh itu adalah suatu kotoran". Oleh sebab itu hendaklah kamu menjauhkan diri dari wanita di waktu haidh; dan janganlah kamu mendekati mereka, sebelum mereka suci. Apabila mereka telah suci, maka campurilah mereka itu di tempat yang diperintahkan Allah kepadamu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertaubat dan menyukai orang-orang yang mensucikan diri.


Abdulla bin Masud berkata:

Aku bertanya kepada Rasulullah shollallahu alaihi wa aalihi wa shohbihi wa sallam mengenai apa saja yang halal saya peroleh dari isteri saya yang dalam keadaan haidh.

Rasulullah shollallahu alaihi wa aalihi wa shohbihi wa sallam menjawab, Kamu boleh menikmati apa saja di luar kain sarungnya.

Hadits ini diriwayatkan Abu Dawud dan  beliau tidak menganggap dhaif pada hadits ini. Berarti hadits ini hasan.

Diriwayatkan dari Aisyah radhiyallahu anhu

"Bahwa Rasulullah shollallahu alaihi wa aalihi wa shohbihi wa sallam memerintahkan kepada kita kaum wanita apabila haidh hendaknya mengenakan tapih (kain panjang yang dipakai oleh perempuan) dan boleh suaminya bersentuhan dengannya di luar tapih."

Imam Muslim juga meriwayatkan hadis seperti di atas dari Maimunah, istri Nabi shollallahu alaihi wa aalihi wa shohbihi wa sallam. Adapun illat atau penyebab keharamannya ialah karena apa yang ada di dalam tapih itu adalah daerah terlaragnya farji. Padahal Rasulullah shollallahu alaihi wa aalihi wa shohbihi wa sallam sudah pernah bersabda:

"Barangsiapa menggembalakan hewannya di sekitar daerah terlarang, sebentar saja pasti akan masuk ke dalamnya."

Sebagian ulama ada yang mengatakan bahwa yang diharamkan itu hanyalah wathi saja. Demikian ini adalah pendapat Imam Syafii di dalam qaul qadhim. Dalilnya yaitu hadits yang diriwayatkan oleh Anas, bahwa orang-orang Yahudi, jika isteri-isterinya sedang haidh, mereka tidak mau menemani mereka makan dan tidak mau bergaul dengan mareka di rumah.

Lalu para sahabat menanyakan hal ini kepada Rasulullah shollallahu alaihi wa aalihi wa shohbihi wa sallam, maka turunlah ayat Al Baqarah : 222.


وَيَسْأَلُونَكَ عَنِ الْمَحِيضِ ۖ قُلْ هُوَ أَذًى فَاعْتَزِلُوا النِّسَاءَ فِي الْمَحِيضِ ۖ وَلَا تَقْرَبُوهُنَّ حَتَّىٰ يَطْهُرْنَ ۖ فَإِذَا تَطَهَّرْنَ فَأْتُوهُنَّ مِنْ حَيْثُ أَمَرَكُمُ اللَّهُ ۚ إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ التَّوَّابِينَ وَيُحِبُّ الْمُتَطَهِّرِينَ

"Mereka bertanya kepadamu tentang haidh. Katakanlah: "Haidh itu adalah suatu kotoran". Oleh sebab itu hendaklah kamu menjauhkan diri dari wanita di waktu haidh; dan janganlah kamu mendekati mereka, sebelum mereka suci. Apabila mereka telah suci, maka campurilah mereka itu di tempat yang diperintahkan Allah kepadamu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertaubat dan menyukai orang-orang yang mensucikan diri."

Oleh yang demikian, maka Rasulullah shollallahu alaihi wa aalihi wa shohbihi wa sallam bersabda: "Kamu boleh lakukan apa saja kecuali nikah (jimak)" [Riwayat Muslim]

Imam Nawawi dalam Syarh Al Muhadzdzab berkata:

Qaul ini lebih kuat dalilnya, oleh sebab itu berhakllah ia dipilih.

Demikian pula di dalam kitab at-Tahqiq dan pada kitab Syarh at-Tanbih dan al-Wasith, Imam Nawawi memilih qaul ini.

Jadi, menurut qaul yang pertama, apakah boleh menikmati bagian pusat dan lutut wanita yang sedang haidh atau menikmati bagian yang setentang dengan keduanya?

Imam Nawawi berkata Tidak pernah aku melihat penukilan dari Ulama madzhab kita sehubungan dengan masalah ini.

Tetapi menurut qaul yang dipilih, boleh dilakukan semua itu. Wallahu alam.

Imam Nawawi dalam Syarh Al Muhadzdzab berkata: Ketahuilah bahwa seandainya ada lelaki melanggar dan bersenang-senang dengan istrinya yang sedang haidh, selain jimak, orang tersebut tidak berkewajiban apa-apa tanpa khilaf. Akan tetapi jika lelakki itu menjimak istrinya yang sedang haidh dengan sengaja dan tahu hukum nya, dia telah melakukan dosa yang besar.

Demikian yang dinukil Imam Nawawi dari Imam Syafii dalam Kitab Ar-Raudhah.

Menurut qaul jadid, orang tersebut tidak wajib membayar denda. Dia cukup meminta ampun kepada Allah dan bertaubat kepadaNya dengan taubat yang baik. Tetapi jika dia menjimak istrinya saat datangnya darah, yaitu saat permulaan dan saat gencar-gencarnya, disunnahkan bersedekah satu dinar. Dan kalau menjimaknya saat darah mulai turun dan melemah, disunnahkan bersedekah dengan setengah dinar.

Ad-Dawudi menukil dari nashnya Imam Syafii di dalam qaul Jadid, bahwa sedekah seprti itu hukumnya wajib. Ini adalah faedah yang sagat penting.

Menurut dua qaul di atas tidak wajib mengeluarkan apapun bagi wanita yang dijimak, dan boleh memberikan dinar tersebut kepada satu orang saja. Wallahu alam.

Itulah 6 larangan bagi wanita haidh dan nifas, setelah kalian mengetahuinya. Berharap agar tidak melanggarnya, Allah dan Rasulullah melarang pasti memiliki tujuan dan manfaat tertentu. Semoga ini bermanfaat.

Subscribe to receive free email updates:

0 Response to "Apa saja larangan bagi wanita haidh dan nifas menurut islam? Berikut ulasannya."

Post a Comment