HUBUNGAN AKHLAK TASAWUF DAN ILMU JIWA - Mencari Pendidikan

HUBUNGAN AKHLAK TASAWUF DAN ILMU JIWA


Mata Kuliah : Akhlak Tasawuf

Yang disusun oleh :
  1. Aenun Rimadhani Aryza
  2. Dewi Hamidah
  3. Dinni Amalia Sulthan 
  4. Nur Hidayah
  5. Kartisa 
  6. M. Hilman Ismatullah 
Diajukkan untuk Tugas Ter-struktur mata kuliah AKHLAK TASAWUF



JIKA INGIN MENG-COPY, JANGAN LUPA BERI SUMBERNYA... TERIMA KASIH.

PEMBAHASAN 


A. PENGERTIAN TASAWUF

Pengertian Tasawuf secara etimologi berarti barisan, karena kaum sufi mempunyai iman kuat, jiwa bersih, ikhlas, dan senantiasa memilih barisan yang paling depan dalam shalat berjamaah atau dalam perang suci. 

Pengertian Tassawuf secara terminology menurut Syekh Muhammad Al-Kurdy berarti suatu ilmu yang dengannya dapat diketahui hal ikhwal (perbuatan) kebaikan dan keburukan jiwa, cara membersihkannya dari (sifat-sifat yang buruk) dan mengisinya dengan sifat-sifat terpuji, cara melakukan suluk, melangkah menuju keridhaan Allah dan meninggalkan larangan-Nya. 

B. PENGERTIAN ILMU JIWA

Ilmu Jiwa adalah ilmu yang membahas tentang gejala-gejala dan aktifitas kejiwaan manusia. Hanya saja ilmu jiwa yang dimaksud dalam tassawuf  adalah jiwa muslim, yang tentunya tidak lepas dari sentuhan-sentuhan keislaman. Dari sinilah tassawuf kelihatan identik dengan unsur kejiwaan manusia muslim.

C. ILMU JIWA DALAM TASSAWUF

1. Mencintai Allah (Mahabbah)

Dengan munculnya gerakan dan ajaran tasawuf, pemahaman tentang cinta Allah menyesuaikan dengan watak para perintis ajaran tasawuf yang mengutamakan sikap tawakal mutlak (tanpa ikhtiar) dan rela menerima segala derita sebagai anugerah Tuhan.

Adapun sebab yang mendorong timbulnya rasa cinta menurut pendapat Imam al-Ghazali ada lima, yaitu :
  • 1) Cinta seseorang terhadap keberadaan dirinya, kesempatan dan kelanggengannya
  • 2) Cinta pada orang yang berbuat baik pada dirinya, yakni kembali bagi kelangsungan keberadaan dirinya, yang menentukan kelanggengan dan melenyapkan bencana bagi dirinya
  • 3) Cinta pada orang yang bertabiat baik, walaupun tidak berbuat baik pada dirinya
  • 4) Mencintai sesuatu yang memang indah, baik aspek lahir ataupun aspek batinnya
  • 5) Cinta lantaran antara dirinya dia ada kecocokan tersembunyi dalam hatinya.


الحبة ميلك إلى الشيء بكليتك ثم إيثا رك له على نفسك وروحك ومالك ثم موا فتك له سرا وجهرا ثم علمك بتقصيرك في حبه                                                                             
Cinta itu kecenderungan pada sesuatu secara keseluruhan, lalu lebih mengutamakan kepadannya daripada dirimu sendiri, ruhmu, hartamu, kemudian kesetiaan mu padanya baik dalam hati ataupun terbuka, dan pengetahuanmu akan kurangnya kecintaanmu padanya.

Kita jumpa para sufi abad ini amat jarang yang tidak mempersoalkan masalah hubbullah. Salah seorang diantaranya Haris al-Muhasibi (w. 243H) mencantumkan satu pasal khusus hampir seperti Risalah diman diterangkan: “Kenyataannya hampir semmua ahli sufi (Ahli Hakekat) membahas tentang konsep cinta lantaran hal inilah yang mencirikan perbedaan antara paham kaum sufi dengan ahli syariat yang beribadah pada Allah mencari pahala surgawi dan takut nereka motifnya, sebaliknyapara sufi ikhlas melepaskan keinginan duniawi dan ukhrawi mereka (tak harap pahala), tak ada yang diharapkan para sufi terkecuali perjumpaan dengan Allah yang mereka cintainya.

Cinta termasuk hal dari ahwal al-shufiyah (mystical states). Bahkan cinta merupakan asas dasar segala hal. Kedudukannya laksan taubat sebagai pangkal segala maqam. Barang siapa telah sempurna taubatnya, akan terlaksanalah maqam-maqam lain (diatasnya) seperti zuhud, ridla dan tawakal. Demikian pula orang yang sempurna cintanya pada Allah, akan sampai pada ahwal lainnya semisal fana, baqa, shahw dan mahw, dan sebagainya. Cinta itu timbul dari pengenalan sifat-sifat Allah.

Tujuan pengabdian dalam cinta yang syar’i yang rasional adalah semata-mata demi ridla Allah, dianugerahi pahala atau tidak bukan masalah. Lantaran taat dan ridla itu sendiri adalah kelezatan dan kebahagiaan tertinggi bagi para pecinta Allah. Jadi kegairahan ibadah sebagai ungkapan jiwa takwa itulah laku hidupnya. 

Dan Allah sendiri memang telah menegaskan bahwa Ia tidak menciptakan jin dan manusia terkecuali untuk beribadah pada-Nya. Dan semulia-mulia manusia di sisi Allah adalah yang paling takwa. Dan Allah akan meridhai orang-orang yang takwa yakni yang taat dan ikhlas melaksanakan tuntunan agama (Al-Qur’an dan Sunnah) secara konsekuen selurus-lurusnya. Dan dalam ajaran islam yang lurus (sesuai jiwa Al-Qur’an dan Sunnah) ibadah mahdlah (murni) itu adalah seperti yang telah digariskan syariat baik wujud ataupun kaifiyatnya, sebagai asas minimalnya. 

Adapun ibadah-ibadah selainnya sebagai asas maksimalnya adalah berupa ibadah-ibadah sosial-religius. Yakni berjihad dan berjuang untuk membangun kehidupan dan kemajuan masyarakat didunia ini. Jadi tekanan ajaran Islam yang asli, ibadah mahdlah mengambil secukupnya seperti yang sudah digariskan syariat sebagai asas minimal. Sedang selebihnya sebagai asas maksimal adalah berlomba untuk berbakti kepada kesejahteraan dan kemajuan umat didunia ini. Ibadah sosial itu ukuran ketinggian tingkat ketakwaan hamba pada Allah sebagai asas maksimal untuk kompetitif  disamping kejujuran dan kemuliaan akhlaknya dalam kehidupan sehari-hari.

Pangkal kehidupan batin seorang sufi adalah cinta rindu dan cinta zat Allah yang emosional murni (‘athifi). Yakni cinta emosional yang menggerakan rasa rindu untuk bertemu muka sang kekasih. Karena wujudnya cinta rindu maka tujuan idealnya bukan hanya takwa dan taat. 

Cinta rindu yang dikembangkan oleh para sufi ini semula memang berwujud maqam akan tetapi setelah mendalam menjadi mabuk cinta (sakar) meningkat jadi hal (state). Oleh karena itu dalam Risalah Qusyairiyah dinukilkan berbagai ungkapan para sufi tentang hakikat cinta rindu ini. Misalnya Al-Syibli mengatakan :

سميت المحبه محبه لأنها تمحو من القلب ما سوى المحبون 
Al-mahabbah itu dinamakan mahabbatan lantaran melenyapkan dari hati apa saja yang bukan Tuhan. 

المحبه نا ر فى القلب تحرك ما سوى مرا د المحبون
Cinta itu laksan api didalam hati yang menghanguskan apa saja selain keinginan pada Kekasihnya.
Karena yang dikembangkan dalam tasawuf cinta rindu, maka puncak kerinduan adalah kegilaan atau mabuk cinta. Hal ini diketengahkan dalam Risalah al-Qusyairi sebagai berikut :

 شرطه أن تلحقه سكرات الحبة فإ ذ لم يكن ذلك لم يكن حبه فيه حقيقة الحبه
Pecinta Tuhan itu syaratnya sampai mabuk dalam cintanya, bila belum sampai demikian, belum betul betul cintanya. 
a. Indahnya Mencintai Allah 
Mahabbah (Cinta Ilahi) getar-getar cinta kepada Allah (Sang Kekasih) yang ditandai dengan 3 ciri utama yaitu :
  • 1. Memiliki Kepatuhan kepada Allah, selaku sang kekasih, disertai membenci segala bentuk sikap melawan kepada-Nya
  • 2. Menyerahkan diri sepenuhnya kepada Allah sebagai Dzat yang dicintai (al-Mahbub) 
  • 3. Mengosongkan hati dari segala hal selain Dia yang dicintai 

Mengenai mahabbah ini, Imam Ibnu Hajar al ‘Asqalani pernah mengutip hadis Nabi saw yang bebunyi “ Cinta yang benar ditandai oleh tiga hal, yaitu memilih ucapan kekasihnya dibanding yang lain, memilih untuk duduk bersama kekasihnya dibanding duduk bersama yang lain dan memilih untuk membuat ridla kekasihnya ketimbang yang lain”. 

Ibn Umar al Jawi menyatakan bahwa barang siapa mencintai Allah, maka ia harus mencintai orang orang yang dicintai Allah, yakni para ulama dan orang orang shaleh. Demikian pula, barang siapa yang mengaku mencintai oramg-orang yang dicintai Allah, maka ia haru cinta untuk berbuat kebajikan (amal shaleh). Dan barang siapa yang mengaku cinta untuk berbuat amal shaleh maka ia harus melakukannya secara ikhlas. 

Bagi seorang sufi, tidak ada perasaan yang paling indah dan menyenangkan dibandingkan dengan dapat merasakan jatuh cinta dengan Tuhan. Tidaklah berlebihan jika kemudian Imam al-Ghazali, salah seorang tokoh sufi yang tersohor, menyatakan dalam kitab al-Mahabbah bahwa : Fa inna mahabbah fillah ‘azza wajalla hiya al-ghayah qushwa minal maqamat wa dzirwah al-‘ulya mina darajat..... “Artinya: Sesugguhnya c inta kepada Allah adalah tujuan tertinggi dari seluruh maqam dan puncak dari derajat yang paling tinggi.....”

Sementara itu, menurut al-Sarraj, cinta illahi memiliki tiga tingkatan, yaitu:
  1. Tingkatan ‘awamm (umum), yaitu cinta yang ditandakan dengan selalu mengingat Allah melalu dzikir, suka menyebut nama Allah dan merasa memperoleh kesenangan batin tatkala mendengar nama Allah disebut-sebut.
  2. Tingkatan Shiddiqin, yaitu cinta orang yang sudah mengenal Allah lebih dalam, mengenal kesabaran-Nya, ilmu-Nya, dan lain sebagainya. Cinta jenis ini dapat menghilangkan tabir yang memisahkan diri sang hamba dari Tuhannya. Maka ketika itu ia mampu melihat al-asrar al ilahiyyah (rahasia-rahasia yang ada pada Tuhan). Cinta pada tahap ini membuat seseorang sanggup menghilangkan kehendak dan sifat-sifatnya sendiri dan hatinya seslalu penuh dengan perasaan cinta kepada Allah, serta selalu merindukan-Nya.
  3. Cinta kaum ‘Arifin, cinta kaum sufi yang muncul karena mereka sudah benar-benar ma’rifatullah. Yang dilihat dan dirasa bukan lagi perasaan cinta, melainkan Dia yang dicintai. Akhirnya, sifat-sifat yang dicintai merasuk kedalam diri yang mencintai. Dengan kata lain, cinta pada tingkatan ini menghasilkan internalisasi nilai-nilai ketuhanan pada dirinya. Sebagai contoh, jika Allah SWT adalah Dzat yang Maha Pengasih dan Penyayang, maka seorang hamba juga harus mampu menebar kasih dan sayang kepada sesamanya.

Oleh sebab itu, setelah seseorang dapat meraih cinta illahi. Tidak ada lagi maqam lain, kecuali dari buah rasa cinta itu sendiri, yakni kerinduan (syauq) ingin bertemu dengan Allah, rasa senang atau mesra (al-uns) beraudiensi dengan Tuhan, rela (al-ridha) atas apa yang diputuskan oleh Allah, ikhlas (al-ikhlas) beribahdah kepada-Nya, dan malu jika ingin berbuat maksiat kepada-Nya (al-haya’ ‘an ma ‘shyyatihi).

Puncak ke ikhlasan dalam beribadah adalah ketika seseorang telah dapat meraih cinta illahi. Hal ini ini sebagaimana yang diungkapkan oleh tokoh sufi wanita, Rabi’ah al-Adawiyyah ketika sedang ber-munajat (beraudiensi) dengan Tuhan,kekasihnya :
“ Ya Allah jika aku beribadah kepadamu karena menginginkan surga, maka juahkan aku dari dari surga itu, dan jika aku beribadah kepada-Mu takut neraka, maka masukkanlah aku kedalamnya, yang penting Engkau ridha Ya Allah”.
Perlu dipahami bahwa seorang sufi sering menggunakan bahas paradoks, seperti kata-kata : “masukkan aku ke neraka yang penting Engkau Ridha.” Dari kata-kata ini kita bisa menganalisa bahwa kalau Allah ridha, tidak mungkin Dia memasukkannya ke neraka.

Itulah kekuatan cintai illahi kaum sufistik, sehingga dalam beribadah pun seolah tak memiliki tendensi, selain ridha dari Allah SWT. Begitu juga dengan cinta Rabi’ah ‘Adawiyyah kepada Allah, sebagaimana yang ia lontarkan dalam syair-syairnya sebagai berikut :
Aku cintai Engkau Ya Tuhan dengan dua cinta; cinta asmara dan cinta karena Engkau memang layak untuk dicintai.
Adapun cintaku kepada-Mu yang pertama, menyebabkan aku selalu sibuk menyebut nama-Mu, sehingga aku lupa terhadap selain diri-Mu.
Sedangkan cintaku yang kedua, menyebabkan Engkau membuka tabir-Mu, sehingga aku dapat melihat wajah-Mu 

D. HUBUNGAN TASSAWUF DENGAN ILMU JIWA

Bukan merupakan sesuatu yang berlebih-lebihan bila kita mengatakan bahwa para sufi adalah pakar ilmu jiwa sekaligus dokter jiwa.seringkali datag syekh sufi,orang-orang yang menderita penyakit kejiwaan ,lalu mereka mendapat disisinya perasaan santun ,keikutsertaan perasaan,perhatian,rasa aman dan ketenangan.

Inilah salah satu sebab dalam percakapan sehari-hari,orang banyak mengaitkan tasawuf dengan unsur kejiwaan dalam diri manusia.hal ini cukup beralasan mengingat dalam substansi pembahasannya,tasawuf selalu membicarakan persoalan-persoalan yang terkisar pada jiwa manusia.hanya saja ‘dalam jiwa’ yang dimaksud adalah jiwa orang muslim,yang tentunya tidak lepas dari sentuhan-sentuhan keislaman.dari sinilah,tasawuf terlihat identik dengan unsur kejiwaan manusia muslim.

Mengingat adanya hubungan dan relavansi yang sangat erat antara spiritualitas (tasawuf)dan ilmu jiwa terutama ilmu jiwa,terutama ilmu kesehatan mental,kajian tasawuf tidak dapat lepas dari kajian tentang kejiwaan manusia itu sendiri.

Dalam pembahasan tasawuf dibicarakann tentang hubungan jiwa dengan badan akan tercipta keserasian diantara keduanya.pembahasan tentang jiwa dan badan ini dikonsepsikan para sufi untuk melihat sejauh mana hubungan perilaku yang dipraktikan manusia dengan dorongan yang dimunculkan jiwanya sehingga perbuatan itu dapat terjadi.dari sini baru muncul kategori-kategori perbuatan manusia sebagai perbuatan jelek atau perbuatan baik.jika perbuatan uang ditampilkan seseorang baik,ia disebut orang yang berakhlak baik.sebaliknya,jika perbuatan yang ditampilkan buruk,ia disebut sebagai orang yang berakhlak buruk.

Dalam pandangan kaum sufi,akhlak dan sifat seseorang bergamtung pada jenis jiwa yang berkuasa atas dirinya. Jika yang berkusa dalam tubuhnya adalah nafsu-nafsu hewani dan nabati.yang akan tampil dalam perilakunya adalah perilaku hewani atau nabati pula.sebaliknya,jika yang berkuasa adalah nafsu insani,yang akan tampil dalam perilakunya adalah perilaku insani.

Kalau para sufi menekankan unsur kejiwaan dalam konsepsi tentang manusia,hal itu dapat pula berarti bahwa hakikat,zat,dan inti kehidupan manusia terletak pada unsur spiritual dan kejiwaanya .ditekankannya unsur jiwa dalam konsepsi tasawuf tidak berarti bahwa para sufi mengabaikan unsur jasmani manusia.unsur ini juga mereka pentingkan karena rohani sangat memerlukan jasmani dalam melaksanakan kewajiban beribadah kepada Allah dan menjadi khalifah-Nya dibumi. 

Seseorang tidak akan sampai kepada Allah dan beramal dengan baik dan sempurna selama jasmaninya tidak sehat.kehidupan jasmani yang sehat merupakan jalan kehidupan rohani yang baik.pandangan kaum sufi mengenai jiwa erat hubungannya dengan ilmu kesehatan mental.ilmu kesehatan mental ini merupakan bagian dari ilmu jiwa(psikologi).

Dalam masyarakat belakangan ini,istilah mental tidak asing lagi.orang-orang dapat menilai apakah seseorang itu baik mentalnya atau tidak.dalam ilmu psikiatri dan psikoterapi ,kata mental sering digunakan sebagai nama lain kata personality   (kepribadian )yang berarti bahwa mental adalah semua usur jiwa ,termasuk pikiran,emosi,sikap(attitude),dan perasaan yang dalam keseluruhan dan kebulatannya akan menentukan corak laku,cara menghadapi suatu hal yang menekan perasaan,mengecewakan atau menegembirakan,menyenangkan,dan sebagainya.

Bagi para ahli di bidang perawatan jiwa terutama dinegara-negara yang telah maju ,masalah mental ini telah menarik perhatian mereka sampai jauh sekali ,sehingga dapat melakukan penelitian-penilitian ilmiah yang menghubugkan antara kelakuan dan keadaan mental.mereka telah menemukan hasil-hasil yang memberikan kesimpulan tegas,yang membagi manusia pada dua golongan besar,yakni golongan yang sehat dan golongan yag kurang sehat.

Orang yang sehat mentalnya adalah orang yang mampu merasakan kebahagiaan dalam hidup karena orang-orang inilah yang dapat merasakan bahwa dirinya berguna,berharga,dan mampu menggunakan segala potensi dan bakatnya semaksimal mungkin dengan cara yang membawanya pada kebahagian dirinya dan orang lain.di samping itu,mampu menyesuaikan diri,yang dalam arti yang luas terhidar dari kegelisahan-kegelisahan dan gangguan jiwa,serta tetap terpelihara moralnya.

Pada perilaku orang sehat mental akan tampak sikap yang tidak ambisius,tidak sombong,rendah hati,dan apatis ,tetapi tetap wajar,menghargai orang lain,merasa percaya diri,dan selalu gesit.setiap tindak-tanduknya ditujukan untuk mencari kebahagiaan bersama,bukan kesenangan dirinya sendiri.kepandaian dan pengetahuan yang dimilikinya digunakan untuk meraih manfaat dan kebahagian bersama.kekayaan dan kekuasaan yang ada padanya bukan utuk bermegah-megah dan mencari kesenangan sendiri tanpa mengindahkan orang lain,tetapi digunakan untuk menolong orang miskin dan melindungi orang lemah.

Sementara cakupan golongan yang kurang sehat sagatlah luas,dari yag paling ringan hingga yang paling berat,dari orang yang merasa terganggu ketentraman hatinya hingga orang yang sakit jiwa.

Gejala umum yang tergolong pada orang yang kurang sehat dapat dilihat dalam beberapa segi,antara lain:
1. Perasaan yaitu perasaan terganggu,tidak tentram,rasa gelisah tidak tentu yag digelisahkan.tetapi tidak dapat pula meghilangkannya(anxiety) rasa takut yang tidak masuk akal atau tidak jelas yang ditakutinya,rasa iri,rasa sedih yang tidak beralasan,rasa rendah diri ,sombong,suka bergantung pada orang lain,tidak mau bertanggung jawab,dan sebagainya.
2. Pikiran gangguan terhadap kesehatan mental dapat pula memengaruhi pikiran,misalnya anak-anak menjadi bodoh di sekolah,pemalas,pelupa,suka membolos,tidak dapat berkonsentrasidan sebagainya.demikian orang dewasa mungki merasa bahwa kecerdasanya telah merosot.ia merasa kurang mampu melanjutkan sesuatu yang telah direncanakannya baik-baik,mudah di pengaruhi orang lain,menjadi pemalas,apatis,dan sebagainya.
3. Kelakuan pada umumnya kelakuannya tidak baik,seperti nakal,keras kepala,suka berdusta,menipu,menyeleweng,mencuri,menyiksa orang lain,membunuh ,merampok,dan sebagainya.yang menyebabkan orang lain menderita dan haknya teraniaya.
4. Kesehatan ,jasmaninya dapat terganggu,bukan karena adanya penyakit yang betul-betul mengenai jasmani itu,tetapi sakit akibat jiwa yag tidak tentram.penyakit ini disebut psikosomatik.gejala penyakit ini,yang sering terjadi,seperti sakit kepala,merasa lemas,letih,sering masuk angina,tekanan darah tinggi atau rendah,jantung,sesak napas,sering pingsan(kejang), bahkan sampai sakit yang lebih berat, sampai lumpuh sebagian anggota badan,lidah keluar, dan sebagainya.yang penting adalah penyakit jasmani ini tidak mempunyai sebab-sebab fisik sama sekali.

Berbagai penyakit seperti dijelaskan di atas sesungguhnya akan timbul pada diri manusia yang tidak tenang hatinya ,yakni hati yang jauh dari Tuhannya ketidaktenangan itu akan memunculkan penyakit-penyakit mental,yang pada gilirannya akan menjelma menjadi perilaku yang tidak baik dan menyeleweng dari norma-norma umum yang disepakati.

Harus diakui memang jiwa manusia seringkali sakit.ia tidak akan sehat sempurna tanpa melakukan perjalanan menuju Allah dengan benar.jiwa manusia juga membutuhkan perilaku (moral) yang luhur, sebab kebahagiaan tidak dapat diraih tanpa akhlak yang luhur,juga tidak dapat menjadi milik tapa melakukan perjalanan menuju Allah.

KESIMPULAN:

Pada pembahasan ini kita dapat simpulkan bahwa hubungan akhlak tassawuf dengan ilmu jiwa sangat perlu kita pelajari, karena hal ini membahas bagaimana seorang muslim berhubungan dengan Tuhannya yaitu Allah dan bagaimana seseorang mampu merasakan kehadiran Tuhan (ma’riatullah), lalu mengaplikasikannya dalam kehidupan. 

Bagi orang yang dekat dengan Tuhannya, yang akan tampak dalam kepribadiannya adalah ketenangan. Perilakunya juga akan menampakan perilaku atau akhlak-akhlak yang terpuji. Semua ini bergantung pada kedekatan manusia dengan Tuhannya. Pola kedekatan manusia dengan Tuhannya inilah yang menjadi garapan dalam tasawuf. Dari sinilah, tampak keterkaitan erat antara ilmu tasawuf dan ilmu kesehatan mental.

DAFTAR PUSTAKA

  1. Anwar Rasihun, M.Ag, Akhlak Tasawuf, Bandung: Pustaka Setia.2009
  2. Mustaqim Abdul, M.A, Akhlak Tasawuf, Yogyakarta: Kaukaba Dipantara.2013 
  3. Imam al Nawawi Ibn Umar al Jawi, Nashaihul Ibad  
Baca juga: 

Subscribe to receive free email updates:

0 Response to "HUBUNGAN AKHLAK TASAWUF DAN ILMU JIWA"

Post a Comment